Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #13

Curhat dan Firasat, Sama-Sama Berima -at

Ternyata Nia benar, Papa cari-cari jaketnya. Ya, memang salah aku; aku pinjam tidak bilang-bilang. Tapi bukan Papa namanya kalau Papa marah. Alih-alih diomeli, aku malah ditanya, “Kamu memang suka jaket kayak gini?”

Aku menyanggahnya dan menjawab kalau aku pinjam hanya untuk keperluan teater. Tentu saja aku minta maaf. Juga karena telah pinjam topinya, juga kacamata hitam punya Mama. Aku minta maaf secara resmi saat makan malam. Aku beralih duduk bersimpuh di lantai, di hadapan Papa dan Mama, merunduk dalam-dalam sambil meletakan ujung jemariku di lantai di depan lututku. Permintaan maaf yang khidmat ala Jepang.

"Di klub kamu ada Kabuki1? Sampai membungkuk gaya ojigi2 segala?" komentar Mama.

"Eh, tapi Kabuki bukannya personelnya mesti laki-laki semua?" timpal Papa.

Dan aku menyangkal semua itu, bahkan tidak tahu menahu apa itu Kabuki. Tanpa disadari, permintaan maafku menguap seperti embun di hadapan hangatnya percakapan penuh kasih antara orang tua dan putrinya. (Cieeee!)

Setelah makan malam, aku secepatnya kembali ke kamar dan mengambil ponselku. Aku langsung chat Nia.

Arianna : [Hey, Nia. Dari mana kamu tau ayahku cari2 jaketnya? Jelaskan!]

Aku simpan ponselku dan siapkan buku buat besok. Setelah selesai, aku lihat lagi ponselku dan terdapat jawaban Nia.

Nia : [Intuisi.]

Aku cemberut. Dih, apaan sih?!

Arianna : [Ayolah! Pastinya kamu punya penjelasan logis, kan? Beri tau! Aku VC, ya!]

 Lalu aku alihkan fungsi chat menjadi video call.

Ternyata Nia perlu waktu juga untuk membuka panggilanku. Sepertinya menyiapkan mental terlebih dahulu.

Ketika panggilan tersambung, aku sempat terperangah saat melihat Nia. Untuk pertama kalinya aku melihat Siti Kania tanpa kerudung—meski masih memakai kacamata. Rambutnya dipotong pendek—kalau diingat-ingat, potongan rambut itu mirip dengan Rio.

“A-assalamualaikum,” sapanya.

“Waalaikumsalam. Eh? Jangan bilang potongan rambut kamu niru Rio!”

Nia langsung menutup kepalanya dengan kedua tangan. “Eng-enggak!”

Aku tertawa melihat wajah Nia yang memerah.

“Jadi? Dari mana kamu tahu kalau Papa cari-cari jaketnya? Setau aku, Papa jarang pake jaket itu, makanya aku pinjam.”

Umm, itu karena kamu meminjamnya, jadi aku … menduga ayah kamu mencari-carinya.”

Aku lihat tampilan Nia di layar agak goyang, sepertinya dia sedang berpindah posisi. Nia tampak kembali jelas setelah tampilan layar stabil. Nia tampak duduk menghadap meja belajar. Aku bisa melihat jendela di latar belakangnya, juga tempat tidur di bawah jendela itu—ada banyak boneka bertengger di tempat tidur itu.

Wah! Kamar yang imut!

Secepatnya aku geleng-gelengkan kepala dan kembali fokus pada topik pembicaraan.

“Eh? Aku gak ngerti!”

Nia menggaruk-garuk pipinya. Tampak seperti ikut kebingungan untuk menjelaskannya.

“Waktu kamu lihat aku pake jaket Papa, apa yang pertama kali kamu pikirkan? Jaket itu pastinya gak cocok sama aku, `kan?” Aku ubah pertanyaanku.

“Bukan enggak cocok, sih, tapi … aku langsung kepikir, itu bukan jaket kamu.”

“Terus? Kamu langsung tebak punya Papa? Tapi bisa jadi aku pinjam punya kakak, `kan?”

Umm, kamu … enggak sungkan pinjam punya kakak kamu?”

Pertanyaan Nia itu seketika memancing imajinasi yang membayangkan sebuah adegan aku meminjam sesuatu ke Kak Ryan dan membayangkan tanggapannya.

“Dih, apaan sih! Beli ndiri!” Kira-kira tidak jauh dari respon seperti itu, dan ya, sepertinya aku mustahil meminjam sesuatu dari Kak Ryan.

You got me there,” tanggapku. “Lalu dari mana kamu tahu Papa nyari-nyari?”

Umm, kamu pakai jaket itu pastinya ada alasannya, `kan? Aku enggak tahu alasannya, tapi sepertinya unik dan … rencananya mendadak. Kamu ambil yang secepatnya bisa kamu dapat, ya, `kan?”

Aku tercenung. “Dan Papa sebenarnya mau pakai?”

“Ya, gitu kira-kira. Umm, tapi boleh tahu alasan kamu pakai jaket papa kamu?”

Hatiku sempat mencelos tapi segera aku kuasai dengan menjawab, “Aku lagi stalking Kak Tari.”

Jelas aku tidak bisa bilang buat nguntit Rio, `kan? `KAN?!

Lihat selengkapnya