Yup! Aku memang mendadak merasa tolol! Khayalku telah membangun skenario di mana Rio berperan menjadi bodyguard-ku di esok hari sepulang sekolah. Aku susun kemungkinan-kemungkinan adegan bagaimana aku menjaga percakapan mengalir saat Rio mengantar aku pulang—menyiapkan joke atau tema-tema ringan seputar basket, juga beberapa ungkapan yang bisa memberi dia sinyal kalau aku punya affection sama dia. Tapi kamu tahu? Aku lupa hal yang paling mendasar; besok dimulainya long weekend! Jumat besok libur. Tanggal merah sialan!
Tapi aku tidak menyerah! Aku buka chat grup klub teater dan segera mengirim pesan.
Arianna : [Besok latihan seperti biasa, kan? KAN?]
Tak lama kemudian pesanku ada yang jawab. Dari Presiden Klub—maksudnya dari Kak Tari.
Presiden : [Libur! Aku udah ada rencana!]
Tidak hanya Kak Tari, beberapa pesan bermunculan dengan nada yang sama. Hanya Sandra yang berbeda.
Sandra : [Kenapa, Ann? Lupa besok libur, ya?]
Arianna : [Shut up!]
Lalu aku mendapatkan stiker kucing gendut ngakak sambil memegang perutnya dari Sandra.
Aku cemberut dan menyingkirkan ponselku. Tapi segera aku ambil lagi saat benda itu mengeluarkan nada panggilan. Video call dari Sandra.
“S’up? Lagi bête?” katanya setelah aku terima panggilannya.
Aku hanya membuang muka dan mengangkat bahu. Tidak berkata apa-apa.
“Tadi Nia chat, loh. Minta aku jagain kamu selama di sekolah. Takut kamu diapa-apain sama Kak Rangga,” sambung Sandra.
“Agak berlebihan, ya?” komentarku.
“Enggak juga sih. Malah aku sempat kepikiran juga. Kak Rangga itu kayak cowok yang intens.” Lalu aku lihat Sandra terkekeh, seperti menahan tawa. “Tadi sore aku lihat kamu melepas poster itu. Kamu kayak bernafsu banget copot tuh poster.”
“Kenapa gak bantu aku?!” tandasku.
Sandra tertawa. “Kamu lucu soalnya! Sebenci itukah kamu sama Kak Rangga? Jujur, seminggu yang lalu, aku masih kepikir kalau Kak Rangga cocok sama kamu.”
“Dih! Najis!”
“Hehe, tapi sekarang posisi kamu lebih baik, `kan? Rio jadi bodyguard kamu, antar kamu pulang setiap hari. Mungkin ini juga kamu besok pengen latihan, ya? Ingin cepat-cepat dikawal Rio, `kan? `Kan? `Kan?”
“Di-diam kamu!” tandasku meski agak gelagapan. Jelas tidak bisa menangkis kebenaran analisa Sandra.
Sandra kembali tertawa sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
“Meski memang pengen pulang diantar Rio, tapi aku masih merasa ini agak berlebihan,” kataku, sebisa mungkin mengabaikan tawa Sandra.
“Mungkin ya, mungkin juga tidak. Itu kata Nia. Tergantung dari Kak Rangga juga, sih. Tapi kalau aku ada di posisi Kak Rangga waktu kamu nolak dia, aku bakal merasa sakit hati juga.”
Mendengar ulasan Sandra, aku hanya mendesah. Seharusnya aku lebih hati-hati menolaknya, ya? pikirku.
“Baiklah! Lupakan dulu semua itu! Sepertinya kamu luang buat besok, `kan? Mau main? Kita ajak juga Rio sama Nia! Atau Rio saja? Hmmmm?”
Aku berkedip cepat. Menangkap usul Sandra sebagai ide yang bagus.
“Main ke mana?”
“Ya gak tau juga? Kamu ada ide? Nonton? Horor, mungkin? Biar kamu ada kesempatan peluk Rio waktu ada adegan jump-scare?”
“Tapi sebaiknya ide nonton muncul waktu di lokasi. Biar kayak ide spontan gitu. Mungkin awalnya kita bisa minta temani beli buku, misalnya.”
“Dih, akal bulus kamu jalan juga, ternyata!” komentar Sandra pedas. “Ya terserah kamu deh! Kamu ajak dulu aja Rio. Kalau dia mau dan kamu cukup berani jalan bareng dia berdua, ya lanjutkan tanpa aku. Aku gak keberatan.Tapi kalau kamu penakut dan mesti aku temani, kasih tau aku, ya? Dah, ciao! Hasta la vista, Baby! ”
Video call diputus Sandra, meninggalkan aku yang mendadak berdebar-debar.
Aku? Ajak Rio main?
Belum reda debar di dadaku, aku melihat notifikasi pesan dari Rio. Sepertinya jantungku mendadak somersault sampai membentur paru-paru, karena napasku mendadak tersendat!
Ri-Rio?!
Aku buka pesan itu.
Rio : [Nia udah cerita. Tapi aku belum bisa move on dari : Kenapa kamu copot juga poster itu setelah dikasih tau?!]