"Pulang sekarang?" tanya Rio datar dan seketika membuatku cemberut.
Tentu saja aku cemberut! Aku baru saja temukan buku yang aku maksud dan mengangkatnya dari rak. Dan dia langsung mengajak pulang?
"Kamu sengaja mau bikin aku marah?" tanggapku sambil bertolak pinggang. Kami berdiri diapit dua baris rak buku di satu-satunya toko buku di kompleks mall ini. Suasana cenderung lengang, hanya beberapa pengunjung yang rata-rata keluarga kecil—bayangkan anak-anak yang diantar kedua orang tuanya. Mungkin, cuma aku dan Rio anak remaja yang mengunjungi toko buku ini.
Rio terkekeh pelan. "Just checking. Jadi emang bener ada porsi mainnya, ya? Penasaran juga gimana mainnya seorang Arianna. Kamu ada janjian sama yang lain?"
"Nope! Cuma kita berdua," jawabku ringan, dan aku harap konsep "berdua" itu tersampaikan dengan semestinya.
Rio tampak heran. Heran yang tidak bercampur sinyal emosi yang lain selain heran. "Kalo cuma kita, kamu punya rencana main apa? Jujur, aku gak kepikiran apa-apa selain ngawal kamu."
Terus terang, ada perasaan sakit hati juga mendengar perkataan Rio itu. Tapi aku cukup sadar kalau yang Rio katakan itu bersifat netral dan ada benarnya. Aku yang sebenarnya ada maksud terselubung dari "kencan" ini.
"Langkah pertama, aku sebenarnya udah alokasi dana buat kamu beli satu buku. Sebagai tanda terima kasih. Gimana? Ada yang kamu suka?"
"Enggak deh, aku cuma ngawal doang," tolak Rio.
"Sori. Biar aku ubah perkataanku!" Cepat-cepat aku memotong Rio.
Lalu, aku menekuk lututku sedikit, juga membungkuk sedikit, kepalaku menunduk anggun, tangan kanan terentang ke arah Rio dan tangan kiri berakting seperti menjumput kain gaun dengan rok lebar ala seorang putri.
"Sudi kiranya Kanda Satria menerima pemberian Adinda yang tak seberapa ini sebagai ungkapan terima kasih Adinda," ucapku dengan nada lirih, mendayu namun elegan dan berkarisma.
"Hmmm, kayaknya aku mulai mengerti maksud kamu dengan akting sebagai bekal hidup," komentar Rio. "Bend everyone to your will, ya?"
"Hey! Kamu juga akting, dong!"
"Oh, sori! Baiklah, Tuan Putri! Dengan senang hati hamba terima pemberian Tuan Putri. Akan hamba jaga dengan nyawa hamba." Rio membungkuk khidmat sambil menaruh tangan kanannya di dada.
Aku pun bertepuk tangan. "Bravo!"
"Hentikan!" desis Rio. Marah tapi tidak ada sinyal ancaman, malah pipinya yang memerah membuatnya tampak imut. Dia bisa malu juga rupanya ....
"Jadi, sekarang kita cari buku yang kamu mau," ujarku sambil tersenyum lebar, merasa menang telah menundukkan Rio untuk menerima pemberianku.
"Ini aja, deh," kata Rio, persis saat aku hendak memutar badan. Aku lihat tangannya meraih rak buku dan memungut sebuah buku berukuran pocket book.
Aku sempat terperangah, namun dengan cepat juga berubah cemberut.
"Aku sakit hati loh, kalau kamu pilihnya sembarangan," ujarku dengan intonasi suara yang aku buat sedih.
"Eh? Eng-enggak sembarang kok!" Rio mendadak gelagapan. "Sori, meski aku enggak niat beli, tapi otakku tentu otomatis memilah-milah mana buku yang menarik, `kan?"
"Iya, sih, tapi apa mesti secepat itu memutuskan?" Aku masih merajuk sedih.
Rio kemudian terkekeh pelan. Entah apa yang dianggapnya lucu, tapi aku juga menangkap kesan kalau tawanya itu bukan menertawakan sesuatu.
"Coba kita ambil sudut pandang lain," kata Rio tiba-tiba.
"Sudut pandang lain?"
"Kamu setuju gak kalau aku bilang semua buku yang ada di toko buku ini menyimpan keinginan penulisnya untuk bisa sampai ke pembaca?" jelas Rio sambil menerawangkan pandangannya ke sepenjuru sudut toko buku.
Aku berkedip cepat, sedikit terkejut dengan konten filosofis dari perkataan Rio, karenanya aku tidak sempat meramu respon.
“Dengan preconceive idea itu, aku kira cukup adil ketika kamu tawarkan traktir aku satu buku, maka pada saat itu pula aku memutuskan buku mana yang menurutku menarik. Ya, `kan?”
Aku termangu. Aku memang bisa mengerti maksud Rio. Aku juga jadi mengerti jalan pikiran Rio hanya dengan pemaparan itu. Tapi, entah kenapa hatiku ingin menolaknya.
“Aku ngerti, sih, tapi apa itu tidak mengorbankan potensi ada buku di rak lain yang semenarik Citizen of The Galaxy, yang menunggu seorang Rio untuk membacanya?” kataku.
“Apa yang menutup kemungkinan kalau buku yang aku pilih ini tidak menarik?” tukas Rio sambil kemudian membacakan judul dan penulis buku itu. “Akhir Hayat Doni Baskom, ditulis sama Ron Toctaliqolor. Hmm, kayaknya nama pena.”
Aku menepuk keningku. “Kamu mau baca buku yang ditulis sama yang namanya ada bunyi tali kolornya?”
“Setidaknya menurutku menarik. Tentang dunia preman,” jawab Rio datar sambil membalikkan buku itu dan melihat blurb yang tertera di sana.