Di satu sisi, aku sepertinya mesti berterima kasih kepada siapapun yang mengabadikan momen aku kencan dengan Rio. Ya, ya, kencan yang bukan kencan! Aku tau! Kencan hanya dari sudut pandang aku saja! But still ..., melihat gambar digital tampak samping dari aku yang duduk satu meja dengan Rio, berhadapan dan tampak santai mengayun obrolan dan canda, aku tidak bisa menyangkal kalau aku cukup senang. Ada jejak kenangan aku dan Rio dari sore itu.
Namun di sisi lain, aku cukup sadar kalau foto yang berpotensi tersebar itu menyimpan ancaman.
“Apa menurutmu, foto itu akan sampai ke Kak Rangga lalu memancing dia berbuat macam-macam sama aku? Itu yang dimaksud Nia soal katalis, `kan?” tanyaku saat aku lihat Rio tengah mengunyah suapan terakhir roti lapisnya. Shrimp roll-ku sendiri masih lebih dari separuhnya—sepertinya napsu makanku mendadak turun.
Rio mengangkat bahu, entah acuh atau tidak, tapi jawaban datarnya membuatku sedikit merenung.
“Mungkin sebaiknya kita melihat semua ini dari sudut pandang isometris—maksudku kayak bird view gitu. Aku bisa bayangkan, kalau Nia melihat semua ini kayak papan catur.”
“Dan kita bidak-bidaknya?” sambungku lirih, seperti tertuju pada diriku sendiri.
“Nia juga melihat dirinya sebagai bidak juga—atau istilah dia sih, variabel. Dan Kak Rangga itu juga merupakan salah satu variabel. Sekarang kita dengar Nia menyebut nama kakekku, maka kakekku juga dijadikannya variabel. Kalau melihat itu, ada kemungkinan Nia melihat Kak Rangga mampu sewa preman buat … macam-macam sama kamu.”
Mendadak aku merinding. Aku tatap Rio sementara tangan yang memegang ekor shrimp roll masih setengah perjalanan menuju mulutku. Aku mirip orang bego, ya?
Rio tertawa pelan. “Tenang, Ann. Itu hanya permainan yang ada di benak Nia. Jikapun dia benar, maka dengan melibatkan Kakek, kamu bakal aman. Belum tentu semua itu benar. Cuma ….”
Aku mengerenyit heran saat menemukan perkataan Rio tidak diakhiri dengan sempurna. Matanya tampak menerawang tiba-tiba.
“Cuma apa, Rio?”
“Oh, cuma soal foto itu, kayaknya bakal memancing pikiran yang tidak-tidak kalau kamu tidak segera respon. Mungkin kamu bisa ambil selfie sama buku-buku yang kamu beli. Terus kamu bilang kalau aku cuma bantu bawain,” jelas Rio yang kemudian tiba-tiba matanya berbinar sambil mengacungkan telunjuk seolah mendapatkan ide cemerlang.
“Atau bahkan kamu nanti bisa selfie sama buku-buku itu di bak pick-up Kakek! Sambil bilang, tadinya kamu mau borong toko buku itu. Ada gaya sense of humor kamu, tapi secara terselubung juga promosi jasa angkut barang kakekku. Hehe, kali aja ada teman sekelas kamu yang mau pindahan.”
Aku tertawa. “Ide bagus!”
Aku pasang buku-buku yang aku beli di atas meja kafe, lalu selfie. Aku ikuti saran Rio, tapi ... aku masih merasa ada ganjalan kalau kata "Cuma" yang Rio pasang di akhir kalimatnya tadi, sebenarnya punya maksud lain. Aku ingin memastikannya, tapi dari cara Rio menghindar dan mengalihkan pembicaraan, seperti menyuruhku untuk fokus pada urusanku sendiri. Agak sakit hati juga, tapi memang benar. Rio benar. Aku juga punya peran dan mesti mengutamakan skala prioritasku.
Lagi pula, jika aku tekan Rio, bisa jadi aku tidak akan mengerti apa-apa selain salah paham, ya, `kan? Bagaimanapun, belum penuh satu pekan aku dekat dengan Rio dan Nia.
"By the way, di grup kelas kamu, siapa yang pertama post foto itu?" tanya Rio, setelah aku selesai makan.
Pertanyaan Rio seketika mengusik rasa penasaran.
"Eh, kok baru kepikir, ya?" ujarku sambil meraih ponsel dan membuka aplikasi perpesanan.
"Apa Sandra?" tebak Rio.
"Iya," jawabku membenarkan. "Kok tau?"
"Sepertinya dari grup kumpulan ketua kelas. Di grup kelasku, Indra yang share. Tanpa caption apa-apa."
Aku jadi termenung.
"Kamu menangkap sesuatu yang aneh?" tanya Rio, sepertinya menanggapi sikapku yang mendadak terdiam.
"Grup Ketua Kelas, adminnya OSIS, `kan? Apa boleh share yang beginian?" tanyaku.
"Maksudku bukan share di grup, tapi memanfaatkan grup itu. Variabel yang membuat foto itu sampai ke grup kelas kita adalah ketua kelas kita, ya, `kan? Bahkan bisa jadi cuma ketua kelas kita saja yang tahu—cuma Indra dan Sandra. Kita tidak tahu di kelas lain atau grup ekskul. Di grup basket gak ada. Di klub teater gimana?”
Kembali aku lihat ponselku. Aku tidak mendapat notifikasi apa-apa di grup teater, tapi kemudian aku mendapat notifikasi dari Kak Tari.
Presiden : [Sooo sweeeeeet!]
Pesan itu mengiringi foto yang sama. Aku balas hanya dengan stiker orang yang menepuk jidat sendiri.
“Gak ada di grup, tapi Kak Tari bilang gini,” jawabku sambil menunjukkan layar ponselku. Ada niat lain dari sekadar menjawab pertanyaan Rio, tapi dengan pesan Kak Tari itu, aku ingin tahu bagaimana reaksi Rio terhadap isi pesan yang jelas melihat aku dan Rio di kafe ini sebagai kencan. Tidak adakah terbersit dalam hatimu kalau perjalanan kita ini ada unsur romantisnya, Rio?
Rio mengerenyit heran, lalu berkata, “Kalau aku berasumsi Sandra yang ambil foto itu, ada argumen yang menyangkalnya, gak?”
Aku tercengang, sedikit membelalakkan mata.
“Eh, sori, kalau aku nuduh teman kamu yang engak-enggak,” sesal Rio sambil mengangkat telapak tangannya, mencoba menghapus tuduhannya ke Sandra.