Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #17

Sedikit Menggali Lebih Dalam

"Dia … punya topeng yang jauh lebih tebal dari kita, dan dia tidak sadar memakainya. Mungkin kalau dia bisa mengidentifikasi topengnya sendiri, itu bisa membuat dia jauh lebih baik.”

Kata-kata Rio itu jelas memberiku petunjuk kalau Rio memang dekat dengan Nia. Aku tidak membaca ada kesan romantis, tapi mengingat beberapa tingkah Rio terhadap Nia yang melibatkan kontak fisik, aku tidak bisa menyingkirkan perasaaan janggal soal hubungan mereka. Dan kali ini, sepertinya aku telah cukup dekat untuk bertanya, "Aku jadi penasaran, gimana awalnya kamu kenal Nia? Kalian bukan teman masa kecil, `kan?"

Aku utarakan pertanyaan itu saat Rio mengemudi pick-up kakeknya; mengantarku pulang.

Rio mendekus pelan. "Bukan. Aku kenal Nia waktu semester satu. Habis pertama kali latihan basket. Seperti kamu bilang; aku suram dan penyendiri, dan memang aku gak niat punya teman. Agak kaget juga ada cewek yang deketin aku."

"Nia deketin kamu? Gimana ceritanya, tuh? Gak kebayang soalnya," tanyaku, menggali detil.

"Di taman sekolah, dekat lab. Kamu tau, `kan? Di bangku bawah pohon. Aku ingat waktu itu lagi kupas jeruk—ganti elektrolit setelah banyak berkeringat, kamu tau `kan? Aku ngupas sambil nunduk, enggak sadar ada yang mendekat, dan kaget waktu dia tanya, 'Kamu gak apa-apa?' Tapi kayaknya dia baru sadar kalau dia deketin cowok, makanya dia langsung balik badan dan mau pergi. Tapi aku panggil dan langsung tanya, 'Apa aku keliatan ada masalah?' Dia gak jadi pergi, keliatan banget kalau dia penasaran. Terus dia tanya, 'Kamu kayak gak suka basket, tapi kenapa masuk basket?'"

"Kok dia tau?" tanyaku, sedikit agak memotong cerita Rio.

"Aku sempat tanya. Dia jawab kalau aku, waktu nembak bola ke keranjang, keliatan gak niat banget. Tapi waktu dribbling sama passing, aku keliatan fokus. Terus dia tanya kenapa, ya aku jawab kalau basket cuma ... means to an end." Rio tersenyum di akhir kalimatnya.

"Meski waktu itu, penjelasan kamu gak sesederhana means to an end, `kan?" komentarku.

"Hehe, iya. Tapi, kamu bisa membayangkannya, `kan? Rasa penasaran bisa bikin Nia melupakan rasa malu sampai mampu dekati aku."

"Ya, aku bisa membayangkannya. Dia urung pergi, lalu duduk sama kamu di bangku itu. Kamu menjelaskan sambil makan jeruk."

Hehe, kamu punya imajinasi yang tajam, ya? Memang begitu adegannya. Sejak saat itu aku sering tanya ke dia soal banyak hal—yah, semacam mengekstrak kesimpulan dari sudut pandang dia yang unik. Lihat aku dan dia cukup kompatibel, dia minta aku membantunya, soalnya dia mulai menyadari kalau berbicara dengan orang lain, cukup sering menimbulkan salah paham—yang aku simpulkan sejauh ini adalah cara Nia menyampaikan yang tidak berimbang sama daya tangkap lawan bicaranya. Dari sudut pandangku, satu-satunya jalan adalah banyak latihan. Tapi soal performa interaksi, jelas kamu lebih paham, Ann. Mungkin Nia sekarang bisa kamu ambil alih.”

Dih, emangnya upacara bendera? ‘Komando pasukan upacara, saya ambil alih!’” tanggapku sambil berpaling ke jendela samping. Sempat aku dengar kekeh tawa Rio, tapi aku mengabaikannya karena hatiku menyadari sesuatu.

Dan aku tidak menyadari kehadiranmu di sekolah ini setelah satu semester lewat? Bodoh! Kalau saja aku lebih dulu menyadari kehadiranmu, Rio, peran Nia itu bisa aku ambil alih!

Aku gigit bibir bawahku, sambil batin memaki diri sendiri. Tapi tentu saja, self-loathing  seperti itu tidak ada gunanya.

“Bahasa lainnya sih, aku cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih kamu mau jadi temannya Nia,” ucap Rio yang seketika membuatku berpaling dan menatapnya. Aku ingin melihat wajahnya saat dia mengucapkan itu.

 Ada senyum tipis di bibirnya, namun sorot matanya tampak tenang. Tampak bahagia. Tapi bukan bahagia karena kencan ini.

Kamu suka Nia, Rio?

Aku ingin ucapkan itu.

Sungguh.

Tapi memikirkannya saja seperti ada yang terkoyak di dalam dadaku. Sepertinya aku tidak sanggup.

Sampai di rumah, aku melihat Papa di teras. Sepertinya menungguku. Khawatir, mungkin? Padahal matahari belum terbenam.

Papa menghampiri setelah aku turun, lalu Rio berpamitan, meski sempat juga berkelakar kalau dia mengira aku akan borong toko buku itu, karena itu dia merasa sia-sia telah membawa pick-up. Papa tertawa mendengarnya, dan sepertinya Papa suka dengan Rio. Tapi Papa tidak mention apa-apa soal Rio setelah Rio pergi. Tidak juga bertanya soal "kencan" ini. Begitu juga Mama yang aku lihat tengah main medsos di ruang tamu.

Aku langsung pergi ke kamar, simpan buku yang aku beli, lalu ganti baju. Sebelum meninggalkan kamar, aku sempatkan mengirim pesan ke Sandra, berikut foto dia yang sedang menguntit aku dan Rio.

Arianna : [Jelaskan! Kamu jg yg ambil foto d kafe itu, kan?]

Pesan itu terkirim namun tidak segera terbaca Sandra, dan aku tidak menunggunya. Aku tinggalkan ponselku di kamar, dan pergi menuju dapur untuk bantu Mak Sari menyiapkan makan malam. Mungkin perlu kamu tahu, di rumah ini dilarang keras pegang gawai di meja makan; titah dari Yang Didaulat Maharani Tuan Ratu Permaisuri Mama!

Lihat selengkapnya