Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #18

Topeng Angkara Tak Seimut Topeng Satria Baja Ringan

Berapa lama kira-kira cewek berdiri di depan cermin? Sepertinya tidak ada satuan waktu yang bisa membatasinya, ya? Lebih-lebih kalau ada tujuannya. Aku juga begitu. Entah berapa lama aku berdiri di depan cermin. Telah berseragam dan berbalut sweater, siap berangkat. Hanya tinggal ikat rambut.

Aku belum bisa memutuskan antara half ponytail atau high ponytail. Half ponytail mungkin bisa lebih mengeluarkan pesona femininku, tapi high ponytail bisa memaparkan tengkukku dan juga memberi kesan sportif yang sepertinya Rio suka. Dan aku masih belum bisa memutuskan saat pintu diketuk Mama.

"Ann, Rio jemput tuh!"

Meski aku sudah tahu Rio akan menjemput tapi tetap saja ada debar tak biasa yang mengiringi pengumuman Mama.

Aku putuskan pakai high ponytail sambil menjawab Mama, "Ya, sebentar!"

Aku ambil tas dan memburu pintu. Di luar kamar Mama mencegatku. Mama juga tampak telah siap pergi ke kantor. Aku yakin Papa sudah pergi lebih dulu seperti biasanya.

"Kamu udah jadian sama Rio?" tanya Mama.

Aku berhenti dan menatap Mama. Ada perasaan malu yang memancing penyangkalan, tapi entah kenapa, ada juga menyeruak hawa keberanian yang segera menepis penyangkalan itu.

“Pengennya, sih. Tapi enggak. Kali ini Rio berperan jadi bodyguard.”

Mama mengerenyit heran.

“Kamu ada yang ancam? Yang kemarin nembak kamu itu?” tanya Mama.

Hehe, kurang-lebih gitu,” jawabku sambil kemudian aku meraih kedua tangan Mama dan menggamitnya. “Doakan Anna supaya berhasil, ya?”

Mama mendadak berkedip cepat sambil menatapku seolah terkejut dengan permintaanku. Tapi Mama segera resolve dan balas menggamit tanganku sambil mengangkatnya.

Best of luck! Semoga kalian segera jadian!”

Aku paksakan tersenyum untuk mengusir perasaan malu. Mama pun tersenyum.

“Anna pergi dulu, ya!” 

“Ya, hati-hati. Nanti pulangnya cerita soal kencan Jumat kemarin, ya! Kemarin Mama gak berani tanya soalnya mood kamu kayak beda waktu pulang.”

Kini giliran aku yang berkedip cepat—tidak menyangka akan permintaan Mama.

“Eh, itu, umm …. Oke deh,” tanggapku, sedikit gelagapan dan segera aku tutupi dengan memutar langkah.

Saat aku memakai sepatu di teras depan, aku lihat Rio di balik pintu pagar. Dia tidak sendiri. Papa ternyata belum berangkat meski telah siap di atas sepeda motornya. Mereka tampak berbincang-bincang—atau lebih tepatnya Rio yang berbicara; seperti sedang menjelaskan sesuatu dan Papa mendengarkan.

Papa yang pertama kali menyadari kedatanganku saat menuruni undakan tangga teras. Papa melambai kepadaku sebelum kemudian menepuk pundak Rio sambil berbicara sebelum Papa pacu sepeda motornya. 

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku setelah dekat dengan Rio.

“Cuma menjelaskan situasi kamu,” jawab Rio.

“Ka-kamu cerita sama Papa?” Aku setengah kaget, setengahnya lagi malu.

“Ayah kamu perlu tahu juga. Semacam contingency measure.”

“Iya, sih. Aku juga udah cerita sama Mama, jadi aku pikir enggak usah sama Papa,” tanggapku sambil membuka pintu pagar dan melangkah keluar.

“Mama kamu gak kasih saran supaya kamu diantar sama mama kamu?” tanya Rio sambil memulai langkah mengawalku berangkat sekolah. “Pakai mobil jelas lebih aman dan lebih cepat.”

“Kantor Mama ke arah lain,” jawabku sambil mengimbangi langkah Rio di sampingnya. “Lagi pula aku perlu jalan kaki. Latihan kardio ringan.”

“Ah, iya. Jaga napas buat olah vokal, ya?”

“Yup.”

Sejenak kami terdiam. Hanya sejenak karena Rio segera berkata, “Tapi jujur, ya, Ann. Aku masih kepikiran motif kamu ikut teater. Aku cukup ngerti waktu kamu bilang buat bekal hidup, tapi apa pemicunya? Pastinya ada trigger yang bikin kamu kepikiran akting menjadi bekal hidup, `kan?”

Aku terkekeh dan mempercepat langkah mendahului Rio. Setelah agak jauh di depan Rio, aku berputar menghadapnya dan berkata, “Itu sih mudah. Trigger-nya kamu, Rio!”

 Aku ucapkan itu sambil agak membungkuk dan mengedipkan sebelah mata.

Rio berhenti berjalan. Aku lihat kedua alis Rio terangkat tinggi-tinggi. Jelas dia terperangah melihat tingkahku, karenanya aku pun segera melepas tawa.

“Kamu kaget?” tanyaku.

Rio mendengkus dan berpaling. Tersenyum lebar yang terkesan menertawakan dirinya sendiri, yang baru sadar kalau aku tengah berakting. Padahal ….

Padahal aku enggak akting, Rio. Memang kamu yang bikin aku masuk klub teater. Kamu yang bikin aku berusaha jadi bintang panggung supaya bisa masuk ke radar perhatian kamu …. Tapi sepertinya aku gagal, ya?

Lihat selengkapnya