“Nia! Apa yang terjadi? Di mana ini?”
“Di rumah Rio,” jawab Nia sambil menyimpan susu kotaknya di meja samping tempat tidur.
Sekilas aku bisa melihat kamar tempat aku terbangun ini tidak luas. Dinding yang kusam dengan sedikit bagian catnya terkelupas. Ada lemari pakaian di sudut terjauh kamar, bersebelahan dengan jendela bertirai filtrase yang memberi tahu aku di luar sana masih terang. Juga sebuah pintu di sisi lain lemari. Pintu itu tidak berdaun pintu, hanya berbatas tirai kain.
I-ini kamar Rio?
“Tapi ini bukan kamar Rio,” jawab Nia seolah membaca pikiranku. “Ini kamar mendiang ibunya Rio.”
Aku tatap Nia.
Setelah Nia menyimpan kotak susunya tadi, dia kembali memperhatikan ponselnya. Sedikit sekali perhatiannya tertuju padaku. Aku melihat ada yang janggal dari sikap Nia. Perkataannya terdengar datar, bahkan terkesan dingin. Seperti terpancar aura determinasi dari dirinya. Aku belum pernah melihat Nia seperti itu.
"Apa yang terjadi, Nia? Apa yang kamu lakukan?" tanyaku lagi, kali ini setengah mendesis, memberi hawa dingin pada pertanyaan itu.
Nia melirikku, mengamatiku sebelum memasang seulas senyum. Senyum yang menghapus hawa dingin dari sorot matanya. Untuk sesaat Nia menjadi seperti biasanya.
"Maaf, tunggu sebentar, ya," kata Nia sambil kembali memperhatikan ponselnya. Lalu dia beranjak menghampiri meja belajar yang tampak kosong kecuali tasnya. Ia ambil satu unit laptop dari dalam tasnya sebelum kembali duduk di sisi tempat tidur. Ia buka laptopnya dan mengoperasikannya, simultan sambil memperhatikan ponselnya.
Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Aku hanya bisa menunggu. Sambil menunggu, aku perhatikan lagi sekelilingku, memperhatikan kamar yang sangat sederhana. Terlalu sederhana. Malah seperti ... tipis sekali hawa kehidupan. Memang tampak relatif terawat, tapi seperti sudah lama tidak berpenghuni.
Skenario apa yang membuat Nia bisa berada di kamar ibunya Rio?
Yang bisa aku perkirakan saat itu adalah Rio berhasil mengalahkan pasukan Super Ranger dan Satria Baja Ringan itu dan membawaku ke rumahnya. Dia meminta Nia menjagaku yang pingsan, sementara Rio mengurus sisanya—entah apa sisa itu, tapi mungkin mengkonfrontasi Kak Rangga setelah mendapat bukti. Namun aku ragu itu yang terjadi. Entah mengapa, intuisiku mengatakan porsi Nia jauh lebih besar dari sekadar menjagaku yang tak sadarkan diri.
Lalu aku lihat Nia beranjak, mengangkat laptopnya sambil menggeser duduknya hingga mendekat ke sampingku. Bahu kami saling bersentuhan.
"Aku ingin kamu juga lihat ini," kata Nia sambil meletakkan laptopnya di antara aku dan Nia.
Sebuah aplikasi pesan tengah terbuka di laptop itu, menampilkan group video call. Aku bisa lihat wajahku dan wajah Nia di tampilan kecil video di sudut kanan bawah, sementara tampilan besarnya berupa video yang memperlihatkan pemandangan gerak dari jendela samping sebuah mobil.
Keningku sedikit mengendur dan alisku terangkat saat melihat nama grup itu.
Mission Improbable?
Aku tidak berkomentar apa-apa soal nama grup itu, apalagi ketika pemandangan di tampilan besar video call itu berubah. Perjalanan mobil itu memasuki semacam lahan tak terurus dan menggelap saat mobil memasuki semacam bangunan—pemandangan dalam bangunan itu pun sama tak terurus.
Semacam gudang terbengkalai, ya? pikirku.
Kemudian aku terbelalak saat mobil memutar dan tampilan video memperlihatkan beberapa orang yang berjalan menghampiri mobil. Ada delapan orang; tiga orang memakai topeng Satria Baja Ringan, sementara lima yang lain berseragam SMA dan salah satunya adalah Kak Rangga. Benakku seketika kebas mendapati kenyataan kalau Kak Rangga memang berniat mencelakai aku.
“I-itu .... I-ini ….”
Aku tergagap.
Aku hendak bertanya, meski itu hanya keluar dari hasrat ingin melampiaskan luapan emosi, bukan dari hasrat mencari jawaban. Tapi Nia mengangkat tangannya, menghentikan perkataanku, memintaku untuk diam dan memperhatikan.
Dari sudut pandang kamera yang sedikit memgguncang, aku perkirakan pintu samping mobil itu tengah terbuka.
“Point of no return, Rio. Masih yakin mau melakukannya?”
Aku dengar suara di video call itu. Suara berat seorang laki-laki dewasa.
“Tanya Nia, bukan aku.”
Aku dengar juga suara Rio dari video call itu, yang memancing Nia melepas mute pada video call itu dan berkata datar , “It’s a go.” Lalu, kembali memasang mode mute.
“Baiklah,” jawab suara berat itu.
Lalu aku lihat punggung seorang laki-laki keluar dari mobil, menjauhi kamera, menjauhi mobil dan mendekati Kak Rangga, tapi tidak terlalu dekat—menjaga jarak seperti adegan negosiasi ala gangster. Aku merinding melihat punggung laki-laki itu. Laki-laki itu juga memakai topeng Satria Baja Ringan. Bisa aku pastikan dia laki-laki yang sama yang menyerangku dan membawaku ke dalam mobil dan … dan membuatku tak sadarkan diri.
“Cewek lo udah gua bawa. Mana sisa duit gua?” kata suara berat si Satria Baja Ringan, tertuju pada Kak Rangga.
Meski berjarak, aku bisa melihat Kak Rangga merogoh saku jaketnya. Dia mengeluarkan amplop coklat yang tentu saja aku bisa menduga kalau isinya uang.
“Bawa keluar cewek gue!” ujar Kak Rangga. Terdengar sedikit samar karena ada jarak dengan mikrofon video call.