Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #20

Aku dan Imajinasiku

Sebelum ini aku membayangkan kakeknya Rio adalah sosok tambun berbaju koko yang memancarkan aura bijak, bukan raksasa kekar berambut crew cut dengan codet di pelipis kirinya. Ada kesan menakutkan memang, tapi ternyata orangnya ramah.

Ah, me and my imagination ….

“Sekali lagi maafkan Abah, Neng. Kalau pun mau menyalahkan, salahkan mereka berdua,” kata Bah Yudin sambil menunjuk ke Rio dan Nia.

Saat itu kami berempat sedang duduk mengelilingi meja makan, sedang bersantap siang dengan menu Nasi Soto Bandung, plus perkedel kentang.

“Ya, saya akan minta pertanggungjawaban mereka, Bah,” tanggapku sambil juga melempar tatapan ke Rio dan Nia.

“Tanggung jawab gimana?” tanya Rio, terdengar cemas.

“Kamu bisa terus antar-jemput Anna sekolah,” timpal Nia, memberi usul.

Rio tampak memicingkan mata ke arah Nia. “Lalu kamu gimana tanggung jawabnya?”

Nia melepaskan sendoknya di piring lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu menundukkan kepala ke arah Rio.

“Saya berada di bawah tanggung jawab Anda, Tuanku, jadi … umm, saya limpahkan semua itu pada Anda,” ucap Nia lirih dan penuh hormat. Entah kenapa aku merasa dia tengah meniruku berakting.

Dih, curang!” desis Rio.

Aku melirik Nia dan tersenyum. Sambil menopang dagu dengan sebelah tangan, aku berkata, “Kamu ternyata bisa bercanda juga, ya?”

Nia tampak tersipu. Dia memalingkan wajah sambil mengibaskan sebelah tangannya.

“Tapi serius, nih, selanjutnya apa?” tanya Rio sambil menyantap suapan terakhirnya, menjadikan dia yang pertama menghabiskan makanannya. “Anna gak bisa tiba-tiba besok muncul di sekolah, `kan?”

“Sebaiknya satu atau dua hari ke depan, Anna jangan sekolah dulu,” jawab Nia.

“Eh, tapi gimana aku menjelaskannya ke orangtuaku?” tanyaku spontan.

“Ayah kamu sebenarnya udah tau rencana ini,” tanggap Rio.

Ah, iya, Rio sudah bilang kemarin pagi, ya? gumam batinku, merasa lega sekaligus merasa kesal juga karena sudah dibiarkan dalam gelap soal muslihat mereka menghadapi manuver Kak Rangga brengsek itu. Terkesan aku tidak dilibatkan sama sekali. Tapi aku cukup mengerti—laju rangkaian peristiwanya terlalu cepat untuk sempat menjelaskannya kepadaku.

“Aku juga sudah bilang ke Sandra buat bikin rumor kalau Anna sudah diselamatkan oleh Bah Yudin sama anak—mantan anak buah Bah Yudin,” sambung Nia.

“Eh, memangnya Abah banyak dikenal di sekolah kamu?” tanya Bah Yudin, terheran-heran.

Umm, maksudnya sebagai kakeknya Rio,” koreksi Nia. “Lagipula, aku yakin waktu kejadian penculikan itu, ada beberapa siswa sekolah kita yang melihatnya. Pastinya sebagai kakek, Bah Yudin gak akan tinggal diam, `kan?”

“Tentu saja!” seru Bah Yudin sambil menepuk dada, terlalu kencang hingga beliau terbatuk-batuk. Ternyata, tidak hanya ramah, pria bertampang seram itu lucu juga.

“Tapi, Nia, apa ada kemungkinan Kak Rangga cerita?” tanya Rio. “Maksudku, apa ada jejak yang bisa terlacak ke Kakek?”

“Kemungkinannya sangat kecil. Dengan bercerita, dia malah membeberkan niat jahatnya sendiri, `kan? Lagipula tidak ada bukti Kakek terlibat langsung. Selain itu, jika lusa Anna sekolah, dan tampak baik-baik saja, itu akan menjadi constrain buat dia tetap bungkam. Menyisakan rasa bersalah yang membuat dia jera mengulangi metode yang sama,” jelas Nia. Sorot matanya tampak tegas.

“Wow! Artikulasi kamu sangat tegas dan penuh percaya diri!” ujarku terkagum-kagum, nyaris tepuk tangan sambil memegang sendok.

“Tuh, `kan? Nia punya potensi, `kan? Cuma jago kandang aja. Kesulitan di depan orang banyak,” komentar Rio.

Wajah Nia memerah dan segera membuang muka. “Di-diam, ah!” desisnya pelan.

“Tapi apa ada jaminan dia bakal berhenti ganggu Anna?” gumam Rio yang terkesan pada dirinya sendiri.

“Karena itu kamu mesti tetap jadi bodyguard-ku,” ujarku sambil menunjuk Rio dengan sendok. Tak lupa memasang senyum tipis yang berkesan aku suka kalau dia menjadi pengawalku

“Ya, ya, aku tahu,” respon Rio yang kemudian beralih ke kakeknya, “Omong-omong, Kek, gimana keadaan Kang Ridwan dan kawan-kawan. Kayaknya aku terlalu kasar melawannya.”

“Cuma si Ojeng yang jarinya bengkak kamu pukul pake tongkat kasti. Abah udah bilang gak usah bawa belati mainan segala,” tanggap Bah Yudin. Beliau juga telah selesai makannya. “Abah mau melihat mereka dulu. Sekalian bayar sotonya Ceu Dariah. Kalau kamu enggak ke sekolah lagi, buka aja warungnya.”

Lalu aku lihat Bah Yudin mengangkat kedua tangan, berdoa setelah makan, lalu beranjak.

“Abah pergi dulu. Assalamualaikum.”

Kami bertiga menjawab salamnya, mengiringi Bah Yudin yang berdiri dan melangkah meninggalkan kami. Kulihat juga Rio beranjak, tapi hanya untuk membereskan piringnya berikut piring kakeknya, membawanya ke bak cuci piring yang berada di belakangnya dan langsung mencuci piring-piring itu. Dia melakukan itu terlihat otomatis dan simultan, seperti terintegrasi sebagai kebiasaannya sehari-hari. Melihatnya, aku merasa seperti diberkahi—memberiku gambaran keseharian Rio. 

Ruang makan ini merangkap dapur dan tidak luas—malah cenderung sempit, didominasi oleh meja makan yang terlalu besar bila hanya dipakai oleh Rio dan kakeknya saja. Terdapat satu jendela kecil di atas kompor, yang lebih berfungsi sebagai ventilasi daripada pencahayaan. Lalu satu-satunya jalan keluar dari ruang makan ini hanyalah koridor yang di koridor itu di salah satu sisinya terletak kamar mendiang ibunya Rio. Aku tidak bisa terlalu banyak komentar tentang kesanku dengan rumah Rio, tapi mengingat hanya Rio dan kakeknya yang tinggal di sini, dakwaan “absennya sentuhan perempuan” sepertinya cukup adil juga.

“Jadi kamu tinggal cuma sama kakek kamu aja?” tanyaku sambil beranjak dan membawa piringku ke bak cuci piring (sengaja aku mempercepat makanku untuk bisa berdiri di samping Rio dan mencuci piring sama-sama, sekadar memainkan imajinasi yang memproyeksikan aku dan Rio sebagai pasutri—kyaaaaa!).

“Yup!” jawab Rio. “Eh, sini biar aku cuci.”

Rio hendak mengambil alih piringku tapi segera aku tepis tangannya.

“Egoku bakal tersakiti kalo biarin kamu cuci bekas makanku!” tandasku.

Lihat selengkapnya