Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja belajar. Bukan meja belajarku, tapi meja belajarnya Rio. Ya, aku masih di warungnya Rio, di sudut terdalam warungnya. Lewat celah lengan yang membantali kepalaku, aku bisa melihat Rio yang masih membersihkan bekas muntahanku.
Setelah aku muntah tadi, Nia membawaku ke kamar mandi untuk membersihkan mulut dan wajahku. Dia sempat menawarkan aku untuk berbaring di kamar ibunya Rio, tapi aku menolaknya. Lalu Nia membawaku ke tempat privatnya Rio di sudut warung.
“Minum ini, Ann,” ucap Nia.
Aku mengangkat kepala dan melihat Nia menyimpan secangkir teh lemon hangat di meja belajar Rio.
“Makasih,” kataku sambil tersenyum. “Maaf, ya, jadi merepotkan begini.”
“Yang salah itu Rio!” seru Nia sambil melempar remasan tisu ke arah Rio. Remasan tisu itu tidak sampai mengenai Rio, tapi sepertinya pesannya tersampaikan sempurna.
“Iya, iya, aku salah. Maaf, Ann,” ujar Rio, masih jongkok di lantai warung, mengelap habis bekas muntahanku dan menampungnya ke ember kecil. Lalu, dia beranjak sambil memungut remasan tisu lemparan Nia. Dia sepertinya pergi ke kamar mandi.
Kulihat Nia melangkah ke bagian depan warung. Lalu aku ambil teh lemon hangat itu dan menyeruputnya. Seketika aku merasa lebih baik.
Nia kembali dengan membawa bangku plastik berwarna merah dan menempatkannya di sampingku. Tidak hanya membawa bangku itu, Nia juga membawa dua bungkus penganan berupa biskuit coklat. Ketika Nia duduk, dia berikan salah satunya kepadaku.
“Thanks. Kamu sering, ya, main ke rumah Rio kayak gini?” tanyaku saat menerima biskuit itu.
“Umm, lumayan,” jawab Nia. Jelas ambigu.
“Kamu tahu? Dari luar, kalian kelihatan seperti lagi pacaran.”
Nia menatapku sambil mengerenyitkan kening. Entah terkejut atau kesal mendengar asesemenku, tapi jelas dia tidak gugup atau gelagapan seperti cewek yang lagi kasmaran.
“Aku dilarang pacaran,” tanggap Nia datar sambil menggigit biskuitnya.
“Ya, aku tahu. Tapi penilaian orang lain cenderung cap kamu sama Rio pacaran kalau lihat interaksi kalian kayak gini.”
“Gitu, ya?” Nia tampak termenung.
Aku buka bungkus biskuit coklat itu dan memakannya sekeping. Mengunyah dan menelan, kudorong ke kerongkonganku dengan bantuan teh hangat. Nia masih termenung.
“Penilaian orang lain, ya?” gumam Nia, tampak memikirkan sebuah ide.
“Apa yang kamu pikirkan?” Aku penasaran.
“Akhir pekan nanti kita piknik, yuk?” usul Nia tiba-tiba. “Kita berempat aja?”
“Berempat?”
“Ajak Sandra juga.”
“Kenapa mesti piknik? Apa tujuannya?”Aku menatap Nia curiga.
“Umm, seperti kamu bilang soal penilaian orang lain. Kamu pastinya termasuk populer di sekolah, lalu ditambah kenyataan Rio menolong kamu tadi pagi, menurut kamu penilaian teman sesekolah gimana? Malah lebih cendrung melihat kamu dan Rio pacaran, `kan?”
Aku tertegun. Mataku sedikit membelalak menatap Nia. Aku tidak menyangka Nia akan mengucapkannya.
“Kamu tidak keberatan digosipkan pacaran sama Rio?” tanya Nia.
Aku membuang muka. Spontan. Tanpa berpikir sama sekali.
Aku yang harusnya tanya itu! Kamu keberatan kalau aku pacaran sama Rio?
Aku memasuki mode panik.
“A-aku tidak terlalu memikirkan penilaian orang lain sih,” tanggapku, “Tapi, ka-kalau kamu mengatakannya seperti itu, aku malah gak enak sama Rio.”
“Enggak enak soal apa?”
Tiba-tiba Rio datang. Ikut nimbrung.
“Aku ada ide kita piknik,” jawab Nia. “Kita berempat.”
“Berempat?” Rio heran.
“Ajak Sandra juga,” timpalku.
“Oh, aku baik-baik saja. Gak perlu piknik segala,” ujar Rio sambil mengangkat bahu, acuh tak acuh.
Seketika aku cemberut, tapi Rio malah tertawa.
“Kalian kompak ya? Cemberutnya?” kata Rio di sela tawanya, tapi diakhiri dengan, “Aduh!”
Nia menendang kaki Rio. Nia juga ternyata ikut cemberut.
“Duh, gak usah nendang segala! Aku cuma bercanda! Aku ngerti, kok! Urusan Kak Rangga ini melelahkan. Ide bagus juga. Piknik.”
“Selain itu, kita juga bisa giring opini kalau Anna baik-baik saja lewat medsos,” tambah Nia.
“Juga menunjukkan keakraban kita, ya `kan?” Aku ikut menambahkan.
“Juga menepis gosip yang enggak perlu,” tambah Nia lagi.
Rio tampak berpikir, lalu tersenyum sambil menatap Nia.