Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #22

Piknik! Piknik! PIKNIK!

Mama tampak lebih pendiam saat pulang. Tapi memang saat mengantar Sandra, Mama masih bersikap ceria seperti biasanya. Mungkin karena itu diamnya Mama lebih terasa. Sambil mengemudi setelah antar Sandra pulang, sorot mata Mama tampak menerawang. Entah apa yang Mama pikirkan, tapi sepertinya aku tidak berhak mencari tahu, atau lebih tepatnya benakku sendiri penuh dengan bahan renungan. Bahan renungan yang terbingkai premis berupa pertanyaan, “Seberapa besar kendaliku di pengalamanku hari ini?”

“Nyaris tidak ada, ya?” gumamku pelan dan aku pikir tidak akan terdengar oleh Mama, tapi ….

“Tidak ada apanya?”

Mama melirikku dan tampak tertarik.

“Anna cuma memikirkan soal porsi Anna di pengalaman seharian ini. Ternyata hampir tidak ada. Anna merasa seperti boneka yang dikendalikan Rio dan Nia,” jawabku lirih.

“Mirip yang Mama rasakan, sih,” komentar Mama, terdengar seperti desah lelah.

“Tapi Anna juga bisa mengerti. Waktu yang mereka punya sangat sempit. Seperti kata Rio, bertindak sesuai kondisi yang ada.”

“Tapi Mama pikir, porsi Nia lebih besar daripada Rio kalau soal perencanaan.”

“Nia yang pertama kali memilih koordinasi sama kakeknya Rio. Kalau Anna lihat dari sudut pandang lain, rencana mereka seolah sangat tepat—maksud Anna, tepat waktu dan tepat sasaran. Mama ngerti, `kan?”

Mama tampak termenung.

“Papa sebenarnya semalam sempat cerita. Kata Papa, Rio yang kasih tahu semua rencananya. Kalau diingat lagi memang sesuai dengan apa yang terjadi, tapi …. Yah, mungkin yang Mama rasakan ini sebenarnya penyesalan yang harus Mama akui kalau waktu dengar dari Papa, masalah kamu dengan kakak kelas itu, juga rencana Rio dan Nia itu, Mama malah menganggap remeh—menganggap semua itu datang dari imajinasi kalian saja para remaja.”

Aku menatap Mama dan aku bisa melihat ada luka di sorot matanya.

“Gak cuma penyesalan sih. Tapi juga pengen gecek tuh kakak kelas kayak terasi di cobek sambal!” sambung Mama, beralih geram yang tidak dibuat-buat.

Aku terkekeh mendengar geram Mama.

“Omong-omong, soal Nia dan Rio. Mereka keliatan kompak, ya?” Mama alihkan topik pembicaraan. “Mereka beneran gak pacaran, `kan? Menurut Mama, mereka terlalu berjarak buat pacaran, tapi terlalu dekat juga kalau cuma teman—meski disebut partner sekalipun.”

“Nia bilang sih enggak.”

“Tapi Mama lihat juga kamu sama Rio semakin dekat, ya? Pastinya ada peluang, `kan? `Kan?”

Ih, Mama!” pekikku manja sambil mencubit tangan kiri Mama yang memegang tuas gear mobil.

Tapi memang aku dan Rio semakin dekat. Tidak hanya dengan Rio, tapi juga Nia, juga Sandra. Ketika selang satu hari dan aku kembali sekolah, tidak hanya Rio seorang yang jemput aku, tapi juga Nia dan Sandra. Rasanya memang berbeda. Melihat mereka bertiga di depan rumahku pagi itu, aku merasakan sensasi yang lebih. Aku merasa … istimewa. Aku merasa istimewa karena ternyata aku dikelilingi orang-orang yang istimewa.

Aku ingat ketika sampai ke sekolah, kami berpapasan dengan Kak Rangga. Dia tampak terkejut dan takut, tapi matanya tidak lepas dariku seolah merasa tidak percaya aku ada. Spontan aku beringsut dan berlindung di balik punggung Rio sambil memegangi kain sweaternya. Rio sepertinya menyadari kegalauanku, tapi reaksinya benar-benar tidak aku sangka; Rio malah menggamit ujung kerudung Nia. Nia pun menyadari keadaan aku dan Rio, tapi dia malah celingak-celinguk hingga akhirnya memegang tangan Sandra. Barulah keadaan pulih setelah Sandra menyadari keadaan lalu membentak ketus kepada Kak Rangga.

“Apa liat-liat?!”

Kak Rangga melompat kaget, lalu berbalik arah menjauhi kami.

Melihat itu, aku, Rio, Nia dan Sandra saling melempar tatapan sebelum akhirnya tertawa.

“Kamu ternyata galak, ya?” komentar Rio.

“Kamu sendiri kok jadi gugup gitu? Takut? Katanya bertarung sama sepuluh preman!” balas Sandra.

“Aku gugup lebih karena Anna yang mendadak nempel ke aku!" Rio beralasan.

“Oh, gitu toh? Kamu deg-degan kalau aku bersikap manja, Rio?” timpalku sambil menarik ujung punggung sweater Rio sambil menunduk malu-malu. Jelas aku berakting.

Sh-shut up!” dengkus Rio tampak kelabakan. Lalu dia berjalan cepat meninggalkan kami.

“Tuh, `kan? Akhir-akhir ini dia lebih ekspresif,” ujar Nia datar, lalu Nia juga meninggalkan aku dan Sandra.

“Eh, Nia! Gimana kalau buat siapin UTS, kita belajar sama-sama?” usulku.

Nia berhenti sejenak, membalikkan badan lalu mengacungkan jempolnya. “Ummm, atur saja,” katanya.

Maka, ikatan kami berempat semakin erat. No bond shall broken, after forged by trial— artimya, tidak ada ikatan yang akan patah setelah belajar bersama buat UTS!

Kami belajar bersama sepulang sekolah. Karena ada kegiatan ekskul, tempat belajar yang kami sepakati adalah yang terdekat. Awalnya pilihannya ada dua, rumahku dan rumah Rio, tapi karena rumah Rio merangkap warung dan tidak kondusif untuk belajar, maka satu-satunya pilihan adalah rumahku. Kecuali di akhir pekan, kami sepakat belajar bersama di sebuah kafe yang jaraknya seimbang antara rumah masing-masing. Dan ternyata, belajar bersama ini sangat berpengaruh terhadap nilai UTS-ku dan juga Sandra—meski ada satu syarat yang mutlak di tiap sesi belajar bersama ini, yaitu combo Nia-Rio. Mereka berdua harus ada. Nia adalah pemegang peringkat pertama seangkatan di sekolah, itu artinya Nia siswa yang cerdas, hanya saja tidak pandai menjelaskan apa yang dia mengerti tentang pelajaran, di sinilah peran Rio yang menerjemahkan apa yang dijelaskan Nia supaya aku dan Sandra mengerti.

“Ingat PEMDAS,” jelas Rio saat aku kesulitan dalam matematika, “Parenthesis, Exponent, Multiplication, Division, Addition dan Subtraction. Itu urutannya. Hitung dulu yang di dalam kurung, baru yang ada pangkatnya, lalu perkalian atau pembagian, lalu pertambahan atau pengurangan. Simple, `kan? Inget aja PEMDAS.”  

“Kayaknya aku pernah dengar soal PEMDAS,” komentarku.

“Yang aku tau sih NDASMU!” canda Sandra sambil segera menutup kepalanya dengan buku seolah mengantisipasi responku yang saat itu aku sedang memegang penggaris. Tapi karena aku tidak mengerti candaannya, maka aku mengabaikannya.

“Tapi, umm, itu otomatis, `kan? Operasi hitung selalu seperti itu,” ujar Nia datar, seolah ketidakmengertian kami sesuatu yang tidak wajar.

Yah, bagaimanapun, aku semakin sadar, Matematika bukan forte-ku. Tapi dengan belajar bersama ini, aku bisa melihat jelas peningkatannya. Lalu UTS pun berakhir, maka waktunya ….

“Piknik! Piknik! Piknik!"

Sandra berseru saat aku menemuinya di depan rumahku, di Sabtu pagi setelah UTS. Kami sepakat berkumpul di rumahku dan yang pertama kali datang adalah Sandra.

Lihat selengkapnya