Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #23

Cheer Up, Girl! Nikmati Momennya Dulu!

Tidak lebih dari dua jam, kami sampai di antara hamparan perkebunan teh di lereng gunung Pamandayan. Matahari telah cukup tinggi dan cerah, memberi sensasi hangat meski kami tengah diliputi dingin pengondisi udara mobil. Setelah kami lewati tanjakan terakhir, seketika kami dihadapkan pada kemilau permukaan danau yang sebagian tepinya dilingkupi perbukitan.

Subhanallah,” gumam Rio, kagum dengan pemandangan di depannya.

Aku tersenyum melihat wajah Rio. Aku melihat ada yang mengendur dari air mukanya, seolah menunjukkan kepadaku inilah wajah polos Rio yang tidak memasang sikap siaga, atau memasang sikap suram nan pendiam.

“Sori. AC-nya matiin, ya,” ujar Rio sambil mematikan pengondisi udara mobil lalu membuka semua jendela. Seketika hawa menghangat, berbaur udara segar pegunungan.

“Segarnya! Kenapa gak dari tadi, ya?” ujarku sambil melongok sedikit keluar jendela.

“Hey, jangan terlalu keluar! Bahaya!” seru Rio, mengingatkanku.

Keep your body part inside, please,” ujar Nia, terdengar seperti gumaman daripada peringatan.

“Aku tau! Aku tau!” ujarku dan sempat aku lihat Nia masih berbaring berbantalkan paha Sandra, dan kali ini Nia berbaring sambil memainkan ponselnya.

Lalu aku dengar Sandra tertawa sambil berkata, “Eh, kalian pernah dengar lelucon ‘Ibu menyusui di dalam bis’, belum?”

“Dah! Udah! Jangan memancing imajinasi!” tandas Rio.

“Ih, apaan sih! Cuma ngerujuk sama kata-katanya Nia tadi! Keep your body—” balas Sandra.

“Dah! Brisik!” bentakku, dan memang Rio dan Sandra mendadak berhenti bertengkar tapi sepertinya bukan karena bentakan aku.

Laju mobil melambat, mendekati gapura besar yang sepertinya merupakan gerbang masuk kawasan wisata itu. Aku lihat ada beberapa orang petugas di sana. Juga aku lihat ada loket yang memberi tahu aku kalau kami mesti membeli tiket untuk masuk. Aku sempat hendak mengeluarkan dompet, tapi urung saat aku dengar Nia berkata, “Aku yang punya ide ini, jadi dari aku aja.” Awalnya aku hendak berargumen, tapi melihat tangan Nia yang masih berbaring memegang dua lembar uang ke Sandra dan Sandra mengestafetkannya ke Rio lalu Rio menerimanya untuk dibayarkan ke petugas, aku putuskan untuk diam.

Mobil kembalu melaju dan ternyata cukup berjarak untuk mencapai danau itu, tapi jarak itu kami nikmati juga. Tak lupa aku abadikan pemandangan di sana. Sempat juga aku foto Rio yang sedang mengemudi dengan dalih memfoto pemandangan di jendela samping Rio, dan … aku dapatkan foto yang aku inginkan. Foto yang menangkap wajah santai Rio; sorot mata yang tenang meski masih fokus mengemudi, rambutnya yang bergelombang tampak tersisir angin dan menambah nuansa tampan yang tidak biasanya aku lihat di sekolah. Sepertinya suasana, mood dan pemandangan bisa menjadi elemen yang menambah fotogenik seseorang, ya?

Setelah berhasil mendapatkan foto itu, aku seperti mendapat keberanian untuk lebih agresif lagi. Aku dekati Rio dan berselfie dengan Rio berada di belakangku. Tentu saja aku imbangi dengan berselfie dengan Nia dan Sandra juga. Tak lupa aku pasang foto-foto itu di status medsosku.

Presiden : [Wah asiknya! Kenapa gak ajak-ajak?!]

Segera aku mendapatkan pesan yang mengomentari foto-foto itu. Dari Kak Tari.

Arianna : [Mobilnya cuma muat berempat!]

“Dari Kak Tari.” Aku tunjukkan ponselku pada Sandra.

“Aku juga dapat. Aku balas kasih usul buat akhir semester nanti klub teater mesti piknik,” komentar Sandra. 

“Eh, ummn, aku juga mau pasang,” ujar Nia sambil mengangkat kepalanya dari paha Sandra.

“Duh, kesemutan,” ujar Sandra sambil mengusap-usap pahanya, akibat terlalu lama menopang kepala Nia.

“Maaf,” lirih Nia, merasa bersalah.

“Gak apa-apa, adikku cayang,” ujar Sandra sambil mencubit pipi Nia.

Aku terdiam, tidak berkomentar apa-apa. Terlebih lagi ketika mendapat notifikasi kalau Nia telah memasang story di medsosnya. Ada beberapa foto di sana, dan salah satu fotonya menangkap wajahku. Aku sempat tertegun melihatnya. Foto itu sepertinya diambil saat Nia berbaring dipangkuan Sandra dan melihatku yang sedang mengambil foto Rio. Mungkin tidak ada tendensi apa-apa—atau aku berharap tidak ada tendensi apa-apa karena wajahku itu memang tampak bahagia. Bahagia yang tidak biasa. Bahagia yang … jika ada seseorang mendeskripsikan wajahku itu sebagai “wajah yang sedang jatuh cinta”, maka aku akan sulit menyangkalnya. Dan dari semua kemungkinan yang ada, Nia yang menangkap wajahku itu. Ya, aku tidak bisa berucap apa-apa, malah aku sepertinya lebih memilih menghindar.

“Kamu gak apa-apa, Ann?” tanya Sandra saat mobil telah parkir dan kami telah turun.

“Kenapa gitu?” Aku malah balik tanya.

“Kamu mendadak jadi pendiam. Pusing?”

“Enggak. Malah lagi senang. Saking senangnya sampai memprediksi sedihnya nanti waktu pulang,” jawabku, yang terus terang sedikit mengada-ada.

Sandra tertawa sambil merangkul pundakku. “Cheer up, girl! Nikmati momennya dulu!”

Tidak hanya merangkul, Sandra juga mengabadikannya dengan ber-selfie.

Rio telah membuka bagasi, sementara Nia agak menjauh ke sisi pelataran parkir sambil membidik kamera ponselnya ke danau, menangkap pemandangan yang indah nan asri. Syukurlah tempat wisata ini tidak terlalu ramai.

Aku hampiri Rio sementara Sandra menemani Nia. Saat aku hampiri Rio, dia telah menyelempangkan tali dari kotak cooler berukuran cukup besar. Dari renggangan tali webbing yang bertumpu pada pundak Rio, aku yakin kalau cooler itu cukup berat.

“Biar aku yang bawa dagingnya,” tawarku sambil meraih kontainer berisi tusukan daging berbumbu.

“Oh, oke,” jawab Rio sambil meraih tungku pemanggang sebagai barang terakhir bawaan, lalu menutup pintu bagasi. “Eh, arangnya di kabin kemudi.”

“Biar aku yang bawa,” kata Sandra cepat-cepat.

Lihat selengkapnya