“Ummm, kamu gak apa-apa, Ann?”
Kali ini Nia yang bertanya.
Aku sedang duduk di atas tikar plastik bermotif tokoh anime, sambil memeluk lututku dan satu tangan memegang botol air. Memang aku sedang melamun sambil menatap ke tengah danau, mungkin itu yang memancing Nia bertanya.
Nia duduk di sampingku, sedikit berjarak.
“Sekarang sudah lengkap!” ujarku sambil melontar senyum lebar ke Nia, “Sebelumnya Sandra yang tanya gitu, terus Rio, sekarang kamu.”
“Maaf, tapi kamu kayak—”
“Jadi pendiam, ya?” potongku.
“Iya. Maaf.”
Aku tidak menanggapinya. Hanya menghela napas dan kembali menatap kemilau permukaan danau. Angin bertiup, menerpa wajahku dan membawa aroma segar pegunungan. Seharusnya aku bisa lebih optimal menikmati suasana pegunungan ini tapi … seperti ada yang mengganjal dalam dadaku.
Nia pun terdiam. Aku meliriknya dan melihat dia juga menatap ke tengah danau. Di balik Nia, agak jauh, aku bisa melihat Rio, sedang jongkok menghadapi tungku pemanggang yang sedang menyala. Sandra juga jongkok di dekatnya, mengipasi tungku memakai tutup kontainer (Yup, satu lagi yang lupa dibawa dalam pesta barbeque ini; kipas).
“Ummm, kamu suka sama Rio, Ann?” tanya Nia tiba-tiba. Lirih, terdengar lembut dan penuh pengertian.
Aku tertegun! Aku tatap Nia tanpa bisa berkata apa-apa.
“A-a-aku ….”
Ya, aku tidak bisa berkata apa-apa meski memaksakan diri untuk meresponnya. Dadaku mendadak sesak, seolah ada tangis yang ingin mengemuka, tapi aku tahan sekuat tenaga. Aku tidak bisa membiarkan tangis merusak segalanya!
Tidak! Tidak boleh!
Nia mendekat dan meletakkan tangannya ke punggungku.
“Maaf. Coba minum dulu, Ann. Terus tarik napas,” bisik Nia sambil mengusap-usap punggungku.
Seperti kerbau dicocok hidung, aku menurut. Aku segera minum dan menarik napas panjang. Lalu aku tatap Nia dan membalas pertanyaannya, setengah berbisik, “Kamu juga … suka sama Rio, `kan?”
Nia mengangkat bahu dan memalingkan wajah ke danau. Tangannya masih mengusap punggungku.
“Situasiku agak rumit dari itu,” jawab Nia. “Aku akan jelaskan, tapi ummm …. Nanti pulang dari sini … boleh aku menginap di rumah kamu?”
Aku kembali tertegun, tapi kini aku bisa menatap mata Nia penuh selidik. Lalu aku mengangguk setuju.
“Tapi alasannya apa, ya? Biar tampak wajar sama Rio dan Sandra?” ujar Nia. Kini dia lepaskan tangannya dari punggungku. “Ummm, ada kemungkinan kalau Sandra tahu, bakal ikut menginap.”
“Soal Sandra aku bisa bilang apa adanya. Dia akan mengerti,” jawabku tegas. “Kalau Rio, gimana?”
“Sepertinya enggak apa-apa. Aku bisa bilang ingin lebih akrab sama kamu.”
“Fix kalau gitu!”
“Tapi bilangnya nanti waktu di rumah kamu aja,” usul Nia, “Ummm, biar terkesan ide spontan.”
“Kalau Sandra, aku mesti bilang sekarang, biar dia bisa cari alasan buat gak ikut menginap,” timpalku sambil mencabut ponsel dan segera membuat pesan untuk Sandra.
Arianna : [San, nanti Nia mau nginap di rumahku. Ada yang mau Nia bicarakan. Aku sama Nia saja! Kamu ada alasan buat gak ikutan? Biar Rio gak curiga?]
Setelah mengirim pesan itu, aku melirik Sandra. Kulihat dia yang giliran jongkok di depan tungku, sementara Rio kena giliran mengibas-ngibas tutup kontainer, menjaga bara api tetap menyala. Sepertinya pesanku telah sampai dan kulihat Sandra membuka ponselnya. Dia langsung berdiri dan sepertinya minta izin Rio untuk membalas pesan.
Sandra : [Okeh! Serahkan sama aku! Selamat bertarung, Sista!]
“Oke, Sandra sudah setuju!” ujarku sambil menyimpan kembali ponselku.
Kulihat Nia tersenyum. Senyum yang hangat.
“Tapi, antara Ya dan Tidak, kamu bisa jawab, `kan? Kalau kamu suka sama Rio?” tanyaku, sedikit berdiplomasi.
Nia berpaling. “Aku tidak tahu …. Aku sendiri suka bingung dengan perasaanku sendiri. Mungkin nanti kamu bisa kasih insight soal itu. Sekarang kita nikmati saja dulu pikniknya.”
Lalu, Nia beranjak dan berdiri, bersamaan dengan suara Sandra yang memanggil Nia.
“Nia! Gantian, dong! Aku dimarahin Rio melulu! Kipasnya kekencengan lah! Bolak-balik dagingnya kecepetan lah!”
“Dah! Merajuk sana!” bentak Rio sambil berpura-pura hendak menendang Sandra.
Sandra lari sambil terkekeh-kekeh. Dia berlari menghampiriku, sementara Nia menghampiri Rio. Setelah dekat denganku, tentu saja Sandra langsung menanyakan apa saja aku dan Nia bicarakan. Aku ceritakan semuanya dan aku bisa menduga kalau Sandra mendadak heran.
“Kira-kira apa yang mau dibahas, ya? Apa mungkin dia memang suka sama Rio, tapi ada sesuatu yang mencegah dia bisa bersama Rio?” bisik Sandra.
Aku hendak menanggapi Sandra, tapi melihat Rio dan Nia datang menghampiri sambil membawa daging panggangan mereka, aku segera mendesis, “Nanti saja! Sekarang kita fokus saja dulu sama pikniknya.”
Tak lama kemudian kami nikmati makan siang di waktu yang tidak terlalu siang, di tengah pemandangan asri nan indah dengan udara segar yang sepertinya memang berpengaruh terhadap selera makan kami. Aku yakin daging yang disiapkan Mak Sari cukup banyak, tapi kini habis ludes tak bersisa.
“Hey, Rio, kalo main air di pinggiran situ aman, kali, ya?” tanya Sandra sambil menunjuk ke tepi danau.
Aku dan Nia yang sedang membereskan bekas makan kami ikut berhenti. Tertarik dengan usul Sandra.
“Emang kamu bawa baju ganti?” tanya Rio. Saat itu sedang membereskan tungku pemanggang.
“Hehe, enggak sih.”
“Ya udah, jangan!”
“Gak asik!” desis Nia, cemberut ke arah Rio dan aku tidak menduganya.
“Hey, aku gak mau dapet tugas baru buat bersihin kursi mobil kamu kalo kamu pulang basah-basahan!” rajuk Rio ke Nia.
“Lain kali kita pergi ke kolam renang, gimana?” usulku.