Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #25

Ketika Benci dan Cinta Bertabrakan

Apa benar aku sudah menduganya?

Mungkin memang aku sudah menduganya. Di lubuk yang terdalam aku mungkin sudah menduganya, namun kerap aku sangkal hingga tidak sudi mengemuka, kerap aku tepis seperti nyamuk yang tidak diberi kesempatan untuk hinggap. Mungkin karena sulit dipercaya, atau karena memang hal yang tidak biasa—lebih-lebih karena tampaknya Nia dan Rio merahasiakannya—maka rahasia yang dibagi Nia ini memang tidak mudah aku cerna secepatnya. Karenanya juga memang wajar banyak pertanyaan yang bermunculan dalam benakku. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya keluar dari sisi emosi yang setelah emosiku terserap pelukan Nia, yang pertama kali aku sadari adalah kenyataan kalau Nia tengah membagi rahasianya kepadaku, dan satu hal yang aku tahu tentang berbagi rahasia.

Berbagi rahasia artinya juga berbagi beban untuk menjaganya.

“Tunggu, Nia!” Aku cengkram dan dorong bahu Nia. Aku tatap dia lekat dan bertanya, “Kamu yakin membagi rahasia ini denganku? Kamu tau aku suka sama Rio, `kan? Apa kamu gak melihat aku sebagai … pelakor?”

Aku akhiri perkataanku dengan nada ragu karena aku yakin aku tidak mau dianggap seperti itu.

Nia mendengkus dan terkekeh. “Pelakor? Sudah lama gak dengar istilah itu. Istilah yang misoginis menurutku.”

“Misoginis? Kok bisa?”

“Artinya `kan Perebut Lelaki Orang, diatributkan sama perempuan yang menggoda, padahal, ummm, yang jadi masalah justru integritas laki-lakinya aja yang tipis. Ya, `kan? Pelakor itu seperti istilah buat mengadu domba perempuan, menurutku.”

“Eh, iya juga, ya?”

“Nah sekarang, kira-kira, ummm, kalau Rio gimana menurut kamu? Aku lihat hari ini kamu lumayan agresif sih.”

Mataku berkedip cepat. Tidak menyangka kalau Nia bisa menganggapku seperti itu. Lalu aku menunduk dan berucap, “Maaf.”

Nia menggamit sebelah tanganku dan beralih duduk di sampingku. “Gak apa-apa. Aku senang, kok. Bisa melihat wajah Rio yang gak biasa. Dia kelihatan banget menikmati piknik hari ini. Dan, ummm, aku gak bisa menyangkal kalau kamu yang jadi sebabnya—yah, sebenarnya sama Sandra juga sih, tapi kalau sama Sandra lebih ke bercandanya. Beda sama kamu. Sama kamu Rio kayak lebih terbuka.”

Aku tatap Nia dan merasa heran melihat dia tersenyum lembut seolah tidak terganggu kalau aku mendekati Rio. “Kenapa kamu melakukan ini, Nia? Kalian … suami-istri, `kan? Apa kamu tidak mencintai Rio? Kamu gak cemburu?” tanyaku.

“Apa itu cinta, Ann?” Nia balik bertanya sambil mendorong bahunya ke bahuku. “Kalau di dalamnya ada hasrat yang, ummm, ingin melihat Rio lebih bahagia, maka iya …, aku mencintainya …, sampai rela melepas Rio kalau Rio bisa bahagia sama kamu.”

Mendadak aku gelisah. Memang ada perasaan senang ketika peluang aku mendapatkan Rio seperti terpampang di depan mata, tapi dengan mendengar pernyataan Nia itu, aku seperti dihadapkan pada besaran cinta yang tidak berimbang. Seperti buih di samudera, cintaku begitu remeh dibandingkan cintanya Nia terhadap Rio, karenanya aku menjadi merasa tidak layak.

“Sekarang … aku malah merasa tidak layak untuk Rio,” ujarku, mengutarakan perasaanku yang sebenarnya.

“Layak atau tidak sepertinya tidak relevan. Lagipula kami menikah baru … delapan bulan mungkin? Ummm, Dua atau tiga bulan setelah semester pertama waktu kelas sepuluh. Beberapa bulan setelah kenal Rio pokoknya.”

“Selama itu … kamu sama Rio pernah melakukannya?”

“Melakukan apa?” Nia menatapku heran.

Aku membuang muka. “Ehm, melakukan … itu.”

“Maksudmu, seks?”

Ih! Kenapa kamu bisa enteng gitu bilangnya?!” ujarku sambil mencubit lengan Nia.

Nia malah tertawa. “Maaf, maaf. Tapi jawabannya, tidak. Itu juga salah satu klausul yang Rio tekankan di proposalnya. Kami akan menjaga kontak fisik hingga status kami resmi tercatat di hukum negara. Memang sih adakalanya Rio curi-curi kesempatan, tapi itu, ummm, sebatas cium kening aku, sama pegang tangan. Selebihnya gak pernah. Rio juga berharap, bisa tercatat setelah kami lulus SMA, tapi itu juga tidak sampai kami punya anak—itu bisa ditunda sampai kami mapan dan diharapkan tidak kurang dari usia dua puluh lima.”

“Klausul? Proposal?” Aku terperangah.

Nia terkekeh pelan, menertawakanku yang terperangah.

“Sejak kenal, Rio diam-diam deketin Abbi—umm, ayah aku. Lalu sekitar dua bulan kemudian dia tiba-tiba bilang kalau sudah kenalan sama ayahku, juga sudah mengajukan proposal setebal kitab Mazmu Fatawa. Intinya sih mempersunting aku, cuma detil code of conduct-nya yang bikin tebal—bagaimanapun dari sudut pandang hukum negara kami masih di bawah umur, jadi ummm, butuh penangan khusus.”

“Termasuk merahasiakannya?” tanyaku.

“Itu otomatis, `kan? Tapi Rio tidak terlalu menekankannya. Kalau pun ada yang menyangkanya, kami tinggal menyangkalnya. Cuma keluargaku sama kakeknya Rio yang tahu.”

“Sekarang kamu kasih tahu aku?”

“Karena sekarang kamu termasuk pihak yang berkepentingan. Kamu tahu kenapa Rio menikahiku?”

Lihat selengkapnya