Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #26

All Life is An Experiment, Gitu Kata Mbah Waldo

Sebenarnya bisa saja Rio dan Nia itu dikatakan pacaran, tapi jelas bukan pacaran biasa. Sebagai suami-istri pun tidak sepenuhnya utuh karena mereka tidak hidup bersama—masih di keluarga masing-masing, masih menjaga jarak. Tapi bagaimanapun, dari sudut pandang manapun, mau aku jungkir balik melihatnya, Rio dan Nia adalah dekat. Berbeda denganku yang jelas pihak ketiga yang akan sulit aku sangkal bila ada yang menyebutku pelakor—perebut laki orang!

Meski memang sebagai bentuk pembelaan, aku tidak tahu sampai Nia mengungkapkan rahasianya, jadi predikat pelakor itu masih prematur. Tapi tetap saja, sakit hati membayangkan aku dicap seperti itu ada, meski …, sakit hati itu tidak sebesar sakit hati setiap benak mengingatkan, “Hey, mereka sudah menikah loh!” atau, “Mereka udah pasutri, tau!” Yang bisa aku prediksi akan membuatku bertingkah canggung di hadapan Rio.

Yah …, kalau bisa aku ingin bersikap seperti biasanya ….

Aku bangkit dan duduk menghadap Nia. Pegas tempat tidurku sempat berderak mengikuti gerak beban tubuhku.

“Hey, Nia, apa menurut kamu Rio juga mesti tau kalau aku tau kalian udah menikah?” tanyaku.

Nia tampak termenung dan berpikir.

“Ada baiknya Rio gak tahu sih,” jawab Nia, keningnya tampak mengerenyit. “Kalau Rio tahu, bisa jadi secara tidak sadar dia akan mempertanyakan integritasnya, terus ummm, Rio bakal jauhi kamu.”

Aku termenung. Memang aku bisa mengerti maksud Nia, tapi … dengan menjaga rahasia seperti ini, malah seperti membangun jarak antara aku dan Rio.

Itu sama saja, `kan? Aku tidak akan pernah dekat dengan Rio ….

“Kamu akan merasa canggung kalau ketemu sama Rio, ya?” tanya Nia, membaca pikiranku.

“Pastinya sih,” jawabku sambil menarik lutut, memeluknya dan menyimpan daguku di atasnya. Aku tatap Nia yang keningnya masih mengerenyit. Matanya juga tampak menerawang.

“Tapi, Ann, Rio tahu saat ini kita sedang bersama, `kan? Pastinya dia penasaran soal apa yang kita bicarakan. Lalu, mengingat sikap kamu selama piknik tadi, aku yakin Rio sebenarnya bisa menduga kalau kamu suka dia, jadi parameter dugaan dalam benak Rio pasti gak jauh dari itu.”

Aku benamkan mukaku ke kedua lututku. Ada perasaan malu menyeruak masuk ke dalam dada dan memancing perasaan hina menguasai seluruh entitas diriku. Bodohnya aku!

Ummm, nanti pasti aku akan diinterogasi Rio soal menginap ini. Soal apa aja yang dibicarakan,” imbuh Nia.

“Te-terus kamu mau bilang apa?” Aku mengangat wajahku, menatap Nia. Memelas.

"Yang paling masuk akal sih, aku ummm, aku akan bilang kalau aku menginterogasi kamu, tanya kamu kalau kamu suka sama Rio, terus kamu mengakuinya, lalu kita lihat nanti gimana tanggapannya. Kamu keberatan kalau seperti itu?"

Aku menggelengkan kepala tapi kemudian malah termenung. Termenung membayangkan raut wajah Rio kelak saat mendengar Nia mengatakan itu. Mungkin aku memang bisa membayangkannya, tapi sulit mengartikulasi kata-kata tepatnya—pastinya jauh dari afirmasi—maksudku, agak mustahil Rio akan menanggapi dengan, "Sebenarnya aku juga suka sama Arianna." Ya, `kan? Jelas mustahil, `kan? Dan sepertinya Nia sependapat.

"Kalau aku desak dia buat mengungkapkan perasaannya, yang paling mungkin, dia bakal bilang, 'Aku menikahimu, `kan? Dah jangan dibahas!' Mungkin seperti itu,” lanjut Nia dan sempat meniru gaya bicara Rio saat simulasi jawaban Rio.

Aku meringis mendengarnya. Merasakan cubitan kecil di hati. Aku bisa mengerti dan bisa membayangkan persis seperti yang Nia katakan. Yah, Rio memang seperti itu ….

“Bagaimanapun, Ann. Perubahan pasti ada. Ummm, interaksi kamu sama Rio pasti ada perubahan. Ada kemungkinan Rio akan menjaga jarak, tapi kalau kamu bersikap canggung, kamu malah memperparah jarak itu, ya, `kan?”

“Iya, sih,” gumamku lirih. “Lalu aku harus bagaimana?”

“Entahlah,” desah Nia sambil menjatuhkan tubuhnya, membaringkannya di tempat tidur persis di sampingku. Saat aku ikut berbaring di sampingnya, aku lihat Nia menjulurkan sebelah tangannya ke atas, ke langt-langit kamarku.

“Rio sebenarnya mudah ditebak, tapi ada saja yang mengejutkan dari dia,” gumam Nia sambil menatap nanar melewati jemarinya.

“Seperti Rio dekati ayah kamu terus ngelamar kamu?” tanyaku, coba menebak maksud Nia.

Nia tidak menjawab, tapi setelah menarik tangannya dan menyimpannya di dada, dia termenung sejenak, sebelum berkata, “Kamu tahu, Ann? Kalau ingat lagi persoalan Kak Rangga, sampai dia berniat culik kamu, kalau aku jadi mama kamu, mungkin aku akan ajak kamu pindah sekolah—khawatir luar biasa! Atau kalau aku jadi ayah kamu mungkin aku akan ikut pukuli Kak Rangga. Tapi nyatanya, orang tua kamu seperti tidak terlibat sama sekali.”

Aku termenung, meresapi perkataan Nia dan kemudian seperti tirai panggung yang terbuka menampilkan sosok Rio yang bicara serius dengan Papa di balik pintu pagar saat tempo hari menjemputku, juga sosok Rio yang bicara dengan Mama di warungnya pasca penculikanku oleh Para Pahlawan Bertopeng. Lalu, aku korelasikan dengan Rio yang mendekati ayahnya Nia dan melamarnya, sepertinya aku mengerti dengan maksud Nia.

“Rio itu …,” gumamku.

“Perayu ulung,” imbuh Nia, juga dalam bentuk gumaman namun mendahului aku yang sebenarnya hendak mengatakan kata yang berbeda. Mendengar kata-kata Nia itu aku mendadak mendengkus dan tertawa.

Aku putar badan membelakangi Nia dan tertawa lebih leluasa.

“A-apanya yang lucu?” tanya Nia terdengar heran, namun ada sedikit rona kesal.

Aku coba menahan tawaku dan kembali menghadap Nia. “Perayu ulung, katamu. Kamu yakin? Itu kayaknya mismatch sama Rio deh. Aku sih mau bilang Rio itu persuasif.”

“I-iya! Itu maksudku!” seru Nia sambil cemberut dan membuang muka.

Aku kembali tertawa sambil merapatkan sebelah tangan ke mulutku untuk menahannya.

“Yah, kamu gak salah juga sih,” ujarku setelah tawaku reda. “Meski gak eksplisit, Rio itu memang perayu ulung—dengan caranya yang berbeda, tentu saja. Liat aja kita berdua … yang sampai jatuh hati sama dia ….” Kalimatku melambat di akhirnya, membuatku termenung dan memikirkan gelitik ide yang memancing dengkus canda hingga terartikulasi pada kalimat baru, “Terus tiba-tiba plot twist-nya, Rio malah jadian sama Sandra. Haha!

Tiba-tiba Nia beranjak dan terduduk. Sempat membuatku kaget dan menyangka kalau dia marah dengan candaku. Tapi ketika melihat matanya bergerak-gerak seolah memikirkan sesuatu lalu mata itu dengan cepat menatapku dengan binar yang unik, aku dibuatnya heran dan penasaran.

“Mau coba eksperimen?” tanya Nia tiba-tiba. Ada senyum kecil di bibirnya.

“Eksperimen? Eksperimen apaan?”

Ummm, Sandra kira-kira sekarang udah sampai diantar Rio, `kan?” tanya Nia yang membuatku terbelalak.

Eh, jangan-jangan kamu berpikir … Rio sama Sandra …. Serius?!

Lihat selengkapnya