Aku sungguh tidak menyangka Nia bisa sepucat itu. Wajah yang terbingkai kerudung krem dan kaca mata itu mendadak ditinggalkan rona hidup hanya karena membayangkan dirinya berada di panggung dan disaksikan banyak orang. Aku memang bisa mengerti, tapi jujur aku tidak menyangka Nia bisa setakut itu, karenanya simpatiku membantu Nia terpancing keluar—mungkin Rio juga merasakan hal yang sama di awal perkenalan mereka, ya?
“Tenang saja. Kamu gak sendiri, kok,” ujarku. “Kamu gak tiba-tiba tampil di atas panggung, `kan? Perlu latihan. Perlu perencanaan. Pertunjukan drama itu kerja tim, jadi bukan beban sendirian.”
“Lagipula ceritanya belum ada,” tambah Sandra. “Kita bisa bikin sendiri dan kamu juga bisa terlibat membuatnya, jadi kamu bisa nyaman membawakannya.”
Nia masih tampak gelisah. Tapi aku bisa merasakan keberaniannya membuncah saat dia raih dan remas tanganku kuat sambil berkata, “Bantu aku ya, Ann?”
Aku tersenyum. “Tentu saja.”
“Lebih dari itu, ini bisa jadi menyenangkan. Kita belum pernah `kan? Tampilan drama yang original?” Sandra terdengar semangat.
“Ummm, maksudnya original itu, ceritanya bikin sendiri, ya?” tanya Nia.
“Yup!” seru Sandra. Sementara aku hanya tersenyum.
Lalu tiba-tiba aku dengar pintu kamar diketuk.
“Neng Anna, Neng Siti, udah azan Magrib loh.” Aku dengar suara Mak Sari di luar kamar.
“Baik, Mak! Makasih!” jawabku.
“Oke, kita off dulu ya,” ujar Sandra. “Kasih tau kalo ada perkembangan!”
Aku acugkan jempol dan berkata “Bye,” sambil menutup video call.
Lepas Magrib, aku dan Nia bantu Mama dan Mak Sari menyiapkan makan malam. Saat yang bersamaan, Papa pulang—katanya memancing bersama teman-teman kantornya. Nia memperkenalkan diri saat berpapasan di dapur.
“Oh, kamu partnernya Rio, ya?” ucap Papa.
“Partner?” Mama yang bertanya. Heran, bahkan sampai menghentikan tangannya yang sedang mengiris bawang.
“Rio yang bilang, waktu Anna ada yang ancam. Anna ada dalam perawatan Kania sementara Rio membereskan sumber ancamannya, katanya,” jelas Papa.
“Kenapa baru bilang sekarang?” Mama terdengar merajuk.
“Anak remaja juga perlu diberi kepercayaan untuk membereskan urusannya sendiri, `kan?” kata Papa, acuh tak acuh, sambil mengangkat bahu. Lalu Papa berlalu untuk pergi mandi.
“Levelheaded,” gumam Nia, nyaris seperti bisikan.
“Apa, Ann?” tanyaku.
“Ummm, ayah kamu punya pembawaan yang tenang,” jelas Nia.
“Ah, itu sih cuek abis!” tukas Mama sambil memasukan irisan bawang ke dalam wajan panas hingga terdengar desis liar yang mengiringi terbentuknya aroma wangi masakan.
Mendengar bantahan Mama, Nia melirikku, akupun meliriknya sebelum kami berdua mendengkus menahan tawa.
Saat makan malam, aku tidak menyangka kalau Papa masih ingin membicarakan Rio. Sepertinya Papa memang suka sama Rio. Awalnya Papa bertanya apakah Rio dan Nia itu saudara. Sempat membuatku salah tingkah, tapi yang ditanya malah bisa menjawab dengan tenang.
“Lebih ke simbiosis, sebenarnya. Ummm, saya bantu soal pelajaran Rio, dan Rio bantu saya soal … performa.”
“Rio melatih Nia buat lebih percaya diri berkomunikasi,” tambahku.
“Sekarang, soal performa diambil alih sama Anna. Bagian Rio sekarang mungkin cuma melatih supaya aku¸ ummm, saya lebih excel di Penjas.”
“Eh? Kok aku baru tau? Kapan-kapan kita bisa jogging sama-sama, dong!” komentarku.
“Papa kayaknya pengen ajak Rio memancing,” ujar Papa tiba-tiba dan tanpa bisa aku menyangkanya. Seperti terkonfirmasi kalau Papa memang tertarik dengan Rio.
“Ummm, Rio sepertinya tidak suka memancing,” tanggap Nia, menjatuhkan harapan Papa. “Kakeknya pernah ajak, tapi Rio bilang, ‘Tiap hari udah berdiri nunggu pembeli di depan warung, masa mesti berdiri juga di pinggir kolam nunggu ikan nyangkut?’ Gitu katanya.” ujar Nia, ditambah meniru gaya Rio berbicara.
Mama dan Papa mendengkus tiba-tiba, menahan tawa. Bahkan dengkus Papa terdengar liar karena ada getar sinus di pangkal hidungnya. Kupikir mereka tertawa karena gaya Nia yang meniru Rio, tapi sepertinya motif itu hanya berlaku untuk Mama, sementara Papa segera berkata, “Hehe, terima kasih referensinya. Bisa juga bagi joke itu sama teman-teman waktu mancing pekan depan. ‘Udah lama nunggung beton kering, masa sekarang mesti juga nunggu ikan nyangkut?’ Hahaha!”
Nia tersenyum, tampak puas. Sepertinya senang bisa membuat Mama dan Papa tertawa.
“Sepertinya pelatihannya ada perkembangan, ya, Nia?” komentar Mama, “Tante lihat kamu lebih percaya diri dibanding waktu pertama kali ketemu.”
“Ummm, itu berkat Anna. Tapi … kalau soal perkembangan, tolok ukurnya agak saru. Mungkin bisa disebut berkembang kalau ummm, saya bisa tampil di panggung. Makanya ini … saya mau minta bantuan Anna sama klub teaternya di sekolah.”
“Ah, Mama ngerti sekarang,” ujar Mama.
“Neng Nia mau tambah nasinya?” tanya Mak Sari menawarkan. Memang aku lihat isi piring Nia telah menipis. (Mungkin ini tidak penting, tapi makan malam itu menunya Beef teriyaki sama salada sayur yang isinya wortel dan kubis. Menu favoritku!)
“Eh, tidak usah, Mak. Terima kasih.”
“Ann, coba kamu cerita pengalaman pertama kamu tampil di panggung. Pastinya gugup, `kan?” ujar Papa sambil mengesampingkan piring kosongnya.
“Tentu saja! Gugup setengah mati! Tapi waktu drama dimulai, Anna langsung fokus ke alur ceritanya. Cuma ikuti langkah-langkah sesuai latihan, lupa kalau ada penonton. Mungkin karena porsi latihannya yang banyak, ya?” jelasku.
“Hmmm, latihan sama penguasaan materi, ya,” gumam Nia yang seketika mendapat respon antusias Mama.