Ranjang pengantin itu tak lagi bergetar seperti beberapa detik sebelumnya. Benda persegi beralaskan sprei putih seolah membisu menyaksikan dua manusia yang saling mematung. Pengantin pria telah berbusana lengkap, duduk di ujung bibir ranjang dengan wajah ditekuk. Sementara, pengantin wanita dengan selimut yang menutupi tubuhnya, bersandar di kepala ranjang dengan air mata yang terus berderai.
Suasana di kamar yang masih terpasang dekorasi pernikahan itu terasa mencekam. Udara dari pendingin ruangan terasa lebih dingin daripada malam-malam dengan musim hujan berkepanjangan. Dinding-dinding kamar seolah ikut menjadi saksi malam pertama yang tak pernah dibayangkan. Hanya jarum jam yang masih mampu bergerak dan menciptakan suara di tiap detiknya.
"Kau menipuku!" ucap lelaki itu setelah sekian lama keduanya terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Aku tidak pernah menipumu, Mas," lirih sang pengantin wanita di sela tangis.
"Bagaimana tidak menipu?" Lelaki itu menoleh pada sang wanita. "Aku seperti membeli kucing dalam karung karena kau tak membubuhkan hal itu di CV-mu!" ujar lelaki bernama Irsyad dengan wajah merah menahan marah.
Ucapan Irsyad yang menyebutkan ia seperti membeli kucing dalam karung seperti belati yang menghunjam dalam ke hati sang istri. Bunga Pitaloka namanya. Ia memang merasa bersalah karena tidak membubuhkan satu hal dalam CV. Namun, kalimat Irsyad tetap saja membuat dadanya sakit.
"Aku minta maaf," lirihnya.
"Maaf tidak akan bisa mengembalikan semuanya." Irsyad memandang tajam pada Bunga yang terus menunduk dengan wajah basah penuh air mata.
Bunga mendongak. Menatap nanar pada lelaki yang baru pagi tadi melafalkan ijab qabul bersama ayahnya. "Apa yang bisa kulakukan?"
Irsyad membuang muka. Dadanya naik turun mengikuti irama hati yang dilanda amarah. Entah siapa yang harus ia salahkan, dirinya yang memilih Bunga dari beberapa proposal taaruf yang diajukan, atau Bunga, yang tidak menjelaskan hal paling sensitif itu dalam proposalnya.