Seorang pengusaha muda pemilik beberapa toko elektronik sedang memperhatikan proposal akhwat yang diajukan ustaznya. Di usia yang sudah menginjak kepala tiga, Irsyad Fawaz tak juga menemukan wanita yang sesuai dengan kriteria. Beberapa proposal yang diajukan bulan lalu ia tolak seluruhnya.
Irsyad adalah putra dari saudagar kaya dan pemilik ratusan hektar kebun sawit di Riau. Ia memiliki postur tubuh yang bagus. Wajah tampan blasteran Melayu-Cina, sepasang mata yang sedikit sipit, juga hidung mancung yang menambah pesonanya di mata para wanita. Terlebih, memiliki usaha yang berjalan dengan baik membuatnya bagaikan seorang artis yang selalu menjadi bahan perbincangan.
"Kali ini tak ada lagi yang sesuai?" Bu Elin --Mama Irsyad-- duduk di depan anaknya dan mengambil salah satu proposal.
"Belum Irsyad lihat semua."
"Yang ini sepertinya cocok sama kamu. Mama juga pernah ketemu sama anaknya waktu pengajian akbar." Bu Elin menyodorkan proposal yang tadi ia baca.
"Usianya hanya beda setahun dari Irsyad, Ma."
"Memangnya kenapa?"
"Ketuaan. Irsyad mau yang di bawah 25."
Bu Elin menghela napas. "Jangan terlalu banyak memilih, nanti kamu tidak nikah-nikah!"
"Ma, pernikahan 'kan buat seumur hidup. Irsyad tidak mau asal pilih dan ujungnya menyesal."
"Terus, kamu mau yang seperti apa? Ini di bawah 25." Bu Elin kembali menyodorkan proposal lainnya.
Irsyad membaca sekilas biodata akhwat yang tertera. "Di bawah 25, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Kurang cantik, Ma. Tak bisa diajak kondangan."
"Astaghfirullah Irsyad! Kamu mau milih istri atau apa?" Suara Bu Elin meninggi. Ia menatap tajam pada putranya.
"Bercanda, Ma." Irsyad tertawa kecil menanggapi sang ibu, lalu kembali membaca 'Curiculum Vitae' dari proposal akhwat lainnya.
"Cari yang bagus akhlaknya, bukan sekedar bagus rupanya," celetuk Bu Elin.
"Insyaa Allah yang ada di proposal ini pasti bagus, Ma. Gak mungkin orang luar bisa ngasih proposal nikah ke ustaz."
"Ya ya ya." Bu Elin menanggapi dengan malas.
Lama Irsyad memperhatikan proposal dengan map berwarna biru. Foto seorang gadis dengan jilbab pendek sebahu, tunik selutut, dan celana jeans tampak sangat berbeda dari akhwat lainnya yang berbusana syari. Wajah tirus dengan hidung mancung seperti wanita keturunan Arab, sepasang mata bulat yang mampu menghipnotis setiap pandangan. Usianya 24 tahun. Tertulis nama Diah Pitaloka. Seorang muslimah yang baru saja memulai hijrah.
"Cocok?" tanya Bu Elin yang sedari tadi hanya memperhatikan anaknya.
"Ini yang Irsyad cari."
"Siapa?" Bu Elin mengambil proposal itu dari tangan Irsyad. "Yakin?"
Irsyad mengangguk.
"Kenapa memilih dia? Banyak yang lain. Usia 25 ke bawah, sudah lama mengaji, insyaa Allah pemahaman agamanya bagus."
"Bukan yang seperti itu yang Irsyad cari, Ma." Pemuda itu menyandarkan punggungnya di sofa. "Wanita yang sudah paham, tidak mungkin lagi Irsyad ajarkan. Malah, sebagian dari mereka justru merasa lebih pintar dan paham dari suaminya."
"Tidak semua seperti itu. Jika mereka benar-benar paham, tak akan berani merasa lebih dan merendahkan suami," sanggah Bu Elin.
"Tapi Irsyad tidak tertarik. Irsyad lebih suka yang baru hijrah. Bisa menjadi ladang pahala membimbing istri."
"Terserah kamu. Istikharah dulu sebelum memutuskan." Bu Elin beranjak meninggalkan putranya seorang diri dengan beberapa kertas di meja.