Saya... bertemu dengan Yasmin secara kebetulan, Om. Saya jatuh cinta sama anak Om. Di usia saya yang sudah cukup tuk menikah, saya rasa Yasmin adalah wanita yang tepat untuk saya.
Ya, aku melakukan itu karena aku cinta sama kamu.
Sungguhkah itu? Batin Yasmin. Ia masih belum percaya dengan jawaban Revandra Cakra Dimas yang kini telah resmi menjadi suami sahnya usai ijab kabul berlangsung.
Tangis haru mewarnai Yasmin, Lukman, Hans dan para tamu undangan yang hadir di sana. Kecuali Yeisa, wanita itu nampak kurang setuju atas pernikahan atas anaknya bersama dirinya.
Sesekali Yeisa menampakkan wajah kecewa dan menatap Yasmin tajam, ia tidak menerima bahwa anaknya menikah dengan wanita yang tidak sesuai dengan harapannya.
Yasmin menyadari bahwa dirinya hanyalah gadis berlatar belakang keluarga yang sederhana dan sangat jauh dari kesuksesan dan kekayaan yang di miliki oleh Revan dan keluarganya.
Hingga, dua minggu tinggal bersama Revan dan keluarganya pasca pernikahan mereka di gelar secara mewah dan di hadiri tamu yang mayoritas dari kalangan berada, Yasmin seperti bukan di dunianya. Ia seperti sedang berada di dalam sebuah dunia yang asing dan tidak familiar, ia tidak tahu bagaimana cara untuk beradaptasi di dalam lingkungan baru yang kini bahkan sangat jauh dari kehidupan sehari-harinya.
"Bisa, Non?" Bik Rani mengejutkan. Dia, adalah wanita berusia empat puluh tahun yang katanya sudah lama mengabdi di keluarga Hans sejak Revan duduk di bangku sekolah dulu, menggantikan pembantu yang telah lama sudah tidak lagi bekerja di rumah semegah ini. Bik Rani yang sudah terbiasa beradaptasi dengan keluarga Hans, tak sungkan membantu Yasmin dalam hal apapun di rumah ini, terutama masalah dapur.
"Biar saya coba, Bik."
Bik Rani mengangguk, menaruh rasa percaya. Ini adalah kali pertama Yasmin memasak dengan menggunakan kompor listrik yang canggih dan peralatan dapur yang modern. Ia, merasa sedikit gugup, selain yang ia bisa hanyalah menggunakan alat peracik untuk membuat kopi.
"Darimana Non bisa membuat kopi yang nikmat?" Tanya Bik Rani saat Yasmin sejenak meninggalkan kompor sambil menunggu masakan matang, ia meracik kopi untuknya.
Yasmin tersenyum. "Dulu, aku bekerja di kedai kopi, Bik." Katanya sambil sesekali melirik rebusan kentang yang sedang di masaknya.
"Wah, gak heran kalau kopi yang Non buat enak sekali baunya. Pasti Non Yasmin udah biasa buat kopi untuk pelanggan ya, Non..."
Yasmin mengangguk dengan senyuman. "Oh ya, Bik. Setelah selesai masak, aku pamit pergi ya Bik. Seperti biasa, aku mau jenguk Ayahku sambil antar makanan."
Bik Rani mengangguk. "Kalau Bibik silahkan-silahkan aja, Non. Tapi, Ibu..." Bik Rani tertunduk. "Bibik takut Ibu marahin Non lagi, kalau Non pergi."
Yasmin terhela. Ia benar. Dengan ijin maupun tanpa ijin, Yeisa akan marah bahkan melarangnya untuk pergi meski pekerjaan rumah sudah ia selesaikan. "Kali ini... Aku tidak akan bilang ke Tante Yasmin."
"Tapi, Non..."