"Mau kemana kamu?!"
Yasmin terkejut dan berhenti bergerak saat Yeisa mendapatinya tengah sibuk mengemasi makanan ke dalam kotak nasi. "Ta-Tante..."
Yasmin berbalik dan mendapati wanita itu kini bergerak lebih dekat kepadanya. Matanya tak lepas memandang Yasmin dengan keras dan tidak ramah. Tepat di hadapannya, Yasmin kemudian tertunduk dan tak bisa berkutip.
"Kamu jangan bilang buat pergi datengin Ayah kamu lagi, ya?! Sementara rumah belum selesai kamu bersihkan!"
Yasmin tertegun.
"Bik!" Nada Yeisa naik satu oktaf memanggil pembantunya itu. "Bibiiiik!"
Mendadak, Bik Rani muncul dari belakang dan berdiri di samping Yeisa dengan ekspresi yang patuh. "I-Iya, Bu?"
"Bibik lagi apa, tadi?"
"Ta-Tadi saya sedang membersihkan air kolam, Bu."
"Biar Yasmin yang bersihkan kolam. Bibik siapkan makan malam."
"Tapi..."
"Gak ada, tapi!" Tukas Yeisa menatap tajam Yasmin. "Setelah kamu membersihkan kolam, bersihkan halaman depan juga!"
"Maaf, Bu." Bik Rani menyela. "Ta-Tapi itu sudah tugas saya."
Yeisa mendesis. "Bik, Yasmin itu lebih pantas menjadi pembantu saya. Bukan menantu saya!" Tandasnya.
Yasmin merasa dirinya seperti di sayat belati. Ia terkejut, tersinggung, bahkan terluka saat mendengar pernyataan tersebut.
"Artinya, mulai sekarang... Pekerjaan Bik Rani tidak lagi sendirian. Yasmin yang akan membantu Bik Rani bekerja. Paham?!"
Bik Rani hanya mengangguk menurut. Ia tak dapat melakukan apapun tuk membantu Yasmin dari kekejaman majikannya. Yasmin masih terlalu di tempat, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun selain menelan kepahitan yang masih perlu ia cerna.
Ada banyak orang yang ia kenal, namun tak seburuk yang ia tahu dari Yeisa. Ia hanya memandang Yeisa dengan hati yang patah sampai wanita itu berlalu pergi.
"Non..." Bik Rani mengejutkan. "Non yang sabar, ya. Bibik tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Non Yasmin." Katanya dengan nada iba. "Tapi, Non harus percaya... Kalau hati Non terluka, itu akan sembuh dengan hati yang senantiasa terbuka. Artinya, Non harus percaya, bahwa ikhlas adalah obat dari segala kesakitan itu sendiri."
Yasmin mengangguk dengan senyum yang lemah. Matanya penuh rasa berterima kasih kepada Bik Rani, wanita yang menurutnya sangat baik dan peduli padanya.
****
Yasmin itu lebih pantas menjadi pembantu saya. Bukan menantu saya!
Kalimat tersebut menunjukkan betapa rendahnya pandangan Yeisa terhadap Yasmin. Ia tidak menganggap Yasmin sebagai bagian dari keluarga, melainkan hanya sebagai pembantu yang dapat diperintah dan diperlakukan semena-mena. Ini menunjukkan bahwa Yeisa tidak memiliki rasa empati atau kasih sayang terhadap Yasmin, dan hanya memandangnya sebagai alat untuk melakukan pekerjaan rumah tangga.
Di dalam kamar, dengan cahaya lampu yang setengah redup, membuat kamar terasa lebih sunyi dan sepi. Yasmin duduk di atas tempat tidurnya, memandang ke lantai dengan mata yang sedih. Ia masih teringat kata-kata Yeisa yang menyakitkan, dan ia merasa seperti tidak memiliki tempat di rumah itu.
Gak ada seorangpun yang bisa menyakiti kamu, termasuk aku. Aku akan selalu melindungi kamu dan menjaga perasaan kamu, apapun yang terjadi.
Terlintas, pernyataan Adrian membuat ia tersenyum lemah. "Dan, sekarang kamu pergi dan membiarkan mereka menyakiti aku, Mas." Gumamnya. "Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku harus terjebak dalam kehidupan yang tidak aku inginkan..."
"Ayah." Katanya pada diri sendiri saat ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk dari sang Ayah yang membuat ia berdeham panjang, seolah tengah berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Halo, Ayah?"
"Halo, Yasmin. Kamu lagi apa, Nak?"
Yasmin tertelan. "Aku... Aku lagi di kamar sekarang, Ayah. Ayah. Aku minta maaf kalau hari ini aku tidak bisa ke rumah. Aku..."
Yasmin tertegun, ia tak mungkin bisa menceritakan hal yang sebenernya, sebab ia tak ingin sang Ayah ikut merasa sedih dan khawatir.
"Ayah mengerti, Nak. Yang penting kamu di sana sehat dan baik-baik saja."
Bola mata Yasmin menghangat, hingga meneteskan air mata saat pernyataan sang Ayah yang jauh dari harapan. "Ayah..." Kata Yasmin dengan suara bergetar. "Aku... Aku bingung, Ayah."
Yasmin menggigit bibir bawahnya menahan air mata.
"Ada apa, Nak?"
Yasmin tak dapat mengungkapkan perasaannya. Bingung, adalah kata yang hanya bisa ia ucapkan ketika hati tak sanggup bicara. Ia tak ingin Ayahnya terlibat dalam masalahnya, namun ia juga membutuhkan sosok pelindung sang Ayah yang selalu menjadi nomor satu untuknya.
Pertama, Yasmin merindukan Adrian. Rindu yang kian hari semakin terasa, bahkan semenjak tahu bahwa lambat lain sikap dan sifat yang di miliki Revan juga keluarganya yang tak begitu terbuka untuknya. Kedua, semakin hari apa yang di lakukan Yeisa selalu semena-mena, bahkan keterlaluan. Ia ingin kehidupan yang dulu dengan kesederhanaan dan kebahagiaan yang tak dapat tergantikan oleh apapun.
Kedua, ia tidak tahu bagaimana ia harus keluar dari semua perasaan ini...
Kata-katanya tercekat di tenggorokannya. Ia hanya bisa menangis tanpa suara.
"Yasmin?" Terdengar suara Lukman dengan lembut. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu menangis?"
Aku menyesal, Ayah. Tapi kondisi Ayah adalah nomor satu bagiku saat itu.