Bukan Primadona Sekolah

Joselia
Chapter #1

Bab 1

Hari senin adalah hari yang paling ditakuti oleh semua murid dipenjuru sekolah SMK Ujung Berung. Bagi mereka hari senin bagaikan hari keramat yang harus mereka hindari. Iya, mereka harus menghindari Pak Jupri. Guru paruh baya yang menjabat sebagai wakil kesiswaan. Tugasnya yang tak lain dan tak bukan, menghukum murid teladan. Telat datang pulang duluan.

Ketika senin tugas beliau akan ringan, karena seluruh pasukannya yang beliau didik, akan turut membantu. Siapa lagi jika bukan OSIS. Organisasi yang banyak dibenci hampir semua murid.

Sebelum upacara dilaksanakan, sebagian OSIS yang tak bertugas dalam pelaksanaan upacara akan membantu Pak Jupri mengecek kerapihan murid. Mulai dari kelengkapan atribut, kerapihan dalam berpakaian, pengecekan wajah siswi barangkali mereka berdandan melebihi batas usia. Terakhir, pengecekan celana siswa barangkali di pantatnya kedapatan plester, sebuah barang berharga yang menjadi pengganti jahitan, sudah murah simpel pula. Ini alasan mereka tak menyukai hari senin.

Jika mereka melanggar, maka hukuman yang harus mereka terima lari keliling lapang upacara yang mampu menampung seribu jiwa sebanyak sepuluh kali. Dilanjut dengan membersihkan toilet yang selalu memiliki ciri khas, pesing! Sungguh hukuman yang bukan main-main.

Hari ini sepertinya Tuhan mengabulkan do'a yang selalu para murid panjatkan. Terbukti dengan tak adanya mentari di ufuk timur. Padahal hari sudah semakin siang, jemuran para IRT pun sudah bertengger sempurna di besi panjang yang dinamakan jemuran.

Di bawah selimut dengan merk KW, dimana bahannya tak terlalu halus, tetapi mampu menciptakan rasa hangat. Seorang gadis berwajah pas-pasan masih terlelap di bawahnya.

Udara pagi hari yang sejuk menerobos masuk melalui ventilasi di atas jendela. Menggelitik tubuhnya, membuat gadis itu semakin hanyut dalam tidurnya. Hingga kenikmatan tiada tara itu harus dirusak dengan suara seseorang yang paling berkuasa di dalam rumah tersebut. 

“Raya ... bangun, atau Mama dobrak pintu kamar kamu!” teriak mamanya. Ya, orang yang paling berkuasa dan menakutkan adalah mamanya, wanita yang ketika diajak berdebat tak pernah mengenal kata salah. Setuju tidak?

Raya terperanjat, gadis itu bangun dari tidurnya dengan mata terbuka lebar. Dengan cepat, Raya menghampiri pintu dan membukanya.

“Mama!” pekik Raya dengan piyama dan wajah super kusutnya. Ya, gadis tersebut adalah Araya Umar. Gadis yang akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini.

“Kamu ... hari semakin siang, masih aja tidur. Untung kamu bukain pintu, kalau nggak Mama dobrak pintu kamar kamu.”

“Jangan dong Ma!” sergah Raya. "Pintu yang Mama dobrak waktu lalu aja belum lunas. Sekarang Mama mau dobrak lagi? Punya uang berapa Mama?” tanya Raya dengan menantang.

“Gak usah jawab kalau orang tua lagi ngomong, gak sopan! Kamu udah kelas XI juga, masih aja malas-malasan!” cibir sang mama dengan menatap putrinya. 

“Udah besar mau jadi apa kamu kalau masih remaja aja udah kayak gini?!”

Raya tak membalas perkataan mamanya. Gadis dengan jilbab acak-acakan itu malah memalingkan mukanya. Tak menatap sang mama dan malah menguap. Hal itu membuat mamanya naik pitam.

“Raya, Mama lagi bicara sama kamu. Orang tua tanya bukannya jawab malah nguap. Mau kamu jadi anak durhaka?!” seru mamanya.

“Raya jawab jadi anak gak sopan, gak dijawab jadi anak durhaka. Mau Mama apa?” tanya balik Raya dengan nada tingginya.

“Jawab pertanyaan Mama!” bentak mamanya dengan nada lebih tinggi dari Raya disertai mata membulat yang melotot. Hal itu mampu membuat Raya gemetar, merasa takut.

“Udah besar Raya mau pergi ke Jepang, temani bapak jaga kedai Seblak milik temennya.”

Mamanya tertawa, semakin lama tawanya terbahak-bahak. Wanita paruh baya itu tengah menertawakan putri keduanya.

“Jangan ngarep kamu, bapak kamu gak bakal mau ditemani sama anak yang malasnya, Nauzubillah. Udah sana mandi, nanti telat!”

“Ma,” Raya menatap Mamanya dengan wajah melas. Walau tak perlu dibuat-buat pun wajahnya sudah melas dari sananya.

“Apa?” sahut Mama Naya dengan tak ramah.

Lihat selengkapnya