Semua mata langsung tertuju ke arah Raya, kala ia memasuki kelas. Tatapan tajam serta tak suka mereka lemparkan secara terang-terangan padanya.
“Itu mata lihatnya biasa aja, gak usah melotot mau gue congkel!” sindir Maya seketika. “Mata pada banyak belek juga.”
Semua siswi langsung mengalihkan perhatiannya kala mendapatkan sindiran dari mulut tajam nan pedas Maya. Mereka langsung berpura-pura sibuk.
Raya menuju meja belakang yang berada di pojok. Tempat kesukaannya. Tempat ternyaman untuk ia tidur, dan teraman dari pertanyaan guru.
Raya mendadak berhenti saat seorang OSIS satu angkatan beda kelas menempati mejanya. Maya berbalik ke belakang dan baru menyadari ada anak kelas lain di meja sahabatnya.
“Lo, Runo? bukannya anak dari kelas satu?” tanya Maya, membuat Runo mengalihkan perhatiannya dari buku yang di genggam.
“Gue?” tunjuknya. Maya mengangguk.
“Gue pindah dan masuk ke kelas tiga,” jawabnya.
“Tapi ini tempat Raya,” kata Maya.
“Pinggir gue kan ada tinggal duduk aja.”
Maya menatap Raya memberikan isyarat untuk duduk, Raya pun duduk.
Setelah 4 tahun lamanya Raya duduk sendiri dari SMP, kini ia tak menyangka akan ada teman yang duduk satu meja dengannya. Ada kesenangan tersendiri di hati Raya. Raya mengulas senyumnya secara singkat.
Raya mencoret-coret buku tulis di halaman belakang, ia merasa bosan berada di dalam kelas. Sepertinya tidak masuk sekolah dihari pertama adalah keputusan yang tepat.
Raya menatap kedua sahabatnya yang duduk di depan. Mereka berdua tengah sibuk membahas celana kolor yang di obral 15 ribu 2 di pasar. Mendengarnya saja Raya tak suka, apalagi ikut membahas. Jadi, ia memutuskan untuk tiduran di atas meja dengan tangan sebagai pengganjal. Sesekali netra coklat terang miliknya mencuri pandang ke samping, Raya lakukan itu berulang kali, hingga Runo yang menyadari menoleh bersamaan dengan Raya tengah menatapnya lagi.
Raya tersenyum kaku ketika tertangkap basah oleh Runo. “Apa?” tanya Runo. Raya hanya menggeleng, “Ng ... nggak!”
Runo kembali membaca bukunya, Raya menghembuskan napasnya. Merasa lega.
Gadis itu kembali tiduran, rasa bosan benar-benar melanda dirinya. Jadi ia memutuskan untuk tiduran saja.
“Raya ....” panggil Runo. Mata Raya yang semula terkatup rapat, langsung membuka lebar.
“Eh, tahu nama gue?” tanya Raya dengan menunjuk dirinya.
“Tahu lah, siapa sih yang gak tahu lo. Araya Umar, satu-satunya siswi kesayangan Pak Jupri. Saking sayangnya Pak Jupri sampai bingung mau kasih hukuman apalagi biar gak telat,” terang Runo.
Raya menggaruk kepalanya, merasa malu. Ternyata dirinya sudah benar-benar terkenal, sampai anggota OSIS saja mengenalnya. Sekarang ia sudah tak heran jika dirinya selalu menjadi gosip paling panas di sekolahnya.
“Jadi kenapa panggil?”
“Nggak, cuma mau panggil aja.” Runo beranjak dari duduknya dan langsung pergi keluar kelas. Raya hanya melongo sebelum suara bel pertanda istirahat membuyarkan lamunannya.
“Buruan ke kantin sebelum antri, dan gue gak mau sampai itu terjadi!” ajak Maya disertai gertakan pada kedua sahabatnya.
“Bentar,” sela Raya dengan membereskan bukunya.
“Woi, Kucel.”
“Beliin gue air mineral dingin, belinya di Mbak Sri.” Lelaki dengan seragam acak-acakan mendekati mereka bertiga dan memberikan selembar uang dua ribu pada Raya.
Raya menerimanya dengan alis bergelombang, ”Dua ribu?” Lelaki itu mengangguk.