Meski waktu datang
Dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti...
Kau tak akan terganti
Petikan gitar yang dilakukan Angga mengakhiri lagu 'Takkan Terganti' yang mengalun merdu dari suara indah Icha. Keduanya tersenyum senang. Begitu pula teman-teman mereka yang duduk di sekeliling mereka berdua. Lagu sendu yang dinyanyikan Icha itu membuat suasana sore kian syahdu.
"Cha, nyanyi yang lain lagi, dong," pinta Fitri, gadis berambut ikal yang duduk tepat di samping kanan Icha. Tapi Icha hanya mengibaskan tangannya. Suasana pun hening.
Icha memperhatikan sekelilingnya. Gadis yang belum genap berusia 21 tahun itu bersama sebagian teman-temannya duduk di teras rumah Yani. Sedangkan yang lain bersenda gurau di halaman rumah Yani yang amat luas. Icha sangat suka momen seperti ini, momen-momen saat reuni SMA satu angkatan, yang tidak pernah dihadiri oleh lebih dari 45 orang. Karena memang, saat SMA Icha dan teman-temannya adalah siswa-siswi kelas unggulan yang hanya terdiri dari dua kelas. Sekalipun minoritas, tapi mereka selalu menjadi prioritas di sekolah. Hal itu jugalah yang membuat pertemanan mereka sangat solid setelah bertahun-tahun.
"Aku mau masuk dulu, ya. Mau ambil minum, haus," ujar Icha pada teman-temannya seraya berdiri. Tapi Angga menarik tangannya.
"Kamu disini aja. Biar aku yang ambil," kata Angga hendak berdiri juga.
"Gak usah, Ga. Aku sekalian mau ambil handphone. Kamu mau aku ambilin minum juga?"
"Mmm ... boleh, deh. Aku tunggu disini ya," ucap Angga tersenyum manis. Icha mengangguk kemudian berlalu pergi. Saat berjalan menuju dapur, Icha tersenyum sendiri mengingat tingkah Angga. Laki-laki itu selalu memperhatikannya. Bukan karena dia menyukai Icha. Tapi sikapnya lebih seperti seorang kakak pada adiknya. Bahkan jika dia sedang mengkhawatirkan Icha, ia akan bersikap lebih seperti seorang Ayah.