Tengah hari saat matahari bersinar amat terik, Icha sampai di rumah Tante Venty. Ia melangkah gontai, merasakan kepalanya masih pusing akibat mabuk darat. Ia masih lemas saat meletakkan sepatu di rak di depan rumah, dan masuk ke dalam.
"Tante ... Icha pulang...." Setengah berteriak Icha memberitahu siapa pun yang ada di rumah itu bahwa ia telah pulang. Ia ingin cepat-cepat beristirahat di kamar. Saat gadis itu berjalan hendak menuju kamarnya, Tante Venty muncul dari arah dapur.
"Kamu ke mana aja, sih, Cha? Lama banget deh sampainya! Tante kerepotan banget dari kemarin. Tuh, cucian basah dari laundry langsung kamu jemurin, ya!" Setelah satu perintah selesai ia titahkan, Tante Venty berlalu begitu saja. Tidak tahukah ia bahwa Icha baru saja sampai dari perjalanan jauh dan sangat membutuhkan waktu untuk istirahat?
Meski kesal dan sedih, Icha berjalan ke kamar untuk meletakkan tas ranselnya lalu mengambil semua gantungan baju yang tergantung di dinding samping kamar Icha. Ia membawa semua benda itu ke depan, ke tempat cucian-cucian basah yang ditunjukkan Tante Venty. Dan,
"Ya ampun ... banyak banget...!" Icha berdecak lemah saat melihat dua kantong plastik besar berisi tumpukan baju-baju basah terlipat di dalamnya. Satu per satu Icha pun membawa kantong plastik itu ke tempat jemuran di samping rumah. Panas matahari yang begitu terik membuat sakit di kepala Icha kian menjadi. Perlahan ia menggantung baju-baju basah itu satu per satu. Semakin lama, ia merasa seakan ingin pingsan. Tapi ia terus menguatkan dirinya. Masalah tidak akan selesai jika ia sakit. Justru akan semakin parah.
Icha hampir limbung saat akan kembali masuk ke dalam rumah. Ia buru-buru berpegangan pada dinding paling dekat yang bisa ia raih. Ia menunggu pening di kepalanya mereda untuk kembali berjalan. Ia harus segera masuk ke kamarnya untuk istirahat.
Setelah masuk dan mengunci pintu kamar, Icha segera merebahkan dirinya. Ia memejamkan mata. Ah, rasanya sungguh nyaman. Memang itulah yang amat Icha butuhkan untuk saat ini, istirahat. Karena sejak pulang tadi, ia sama sekali belum menyentuh tempat tidurnya barang sedetik. Icha teramat lelah. Lelah karena perjalanan jauh, juga lelah dengan hidupnya di tempat itu.
Icha kuliah di kota itu. Karenanya, ia menumpang di rumah Tante Venty yang tinggal tidak jauh dari kampusnya. Sedangkan rumahnya sendiri berada di kota lain yang cukup jauh. Mustahil baginya untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya sendiri dan bolak-balik ke kampus dengan jarak yang jauh. Ayah Icha tidak pernah mengizinkan gadis itu untuk tinggal di kos. Icha adalah anak terakhir yang selalu dikhawatirkan oleh ayahnya.
Ayahnya tidak mengerti bahwa hidup Icha justru lebih berat saat harus tinggal bersama Tante Venty. Ia harus selalu siap membantu tantenya itu mengurus rumah dan usaha cateringnya. Sementara dua anak perempuan Tante Venty sendiri selalu terbebas dari tugas itu dengan alasan kerja dan sekolah. Padahal Icha juga memiliki banyak tugas kuliah. Untung saja Icha termasuk mahasiswi yang cerdas. Predikat lulusan kelas unggulan dari sekolah swasta ternama membuatnya menjadi mahasiswi yang juga mumpuni di kampusnya.
Namun, tetap saja. Tugas seabrek yang diberikan Tante Venty setiap hari padanya mengalahkan beratnya tugas kuliahnya di kampus. Sebenarnya ia sudah tidak betah!
"Ichaaa!" Teriakan keras Tante Venty seketika membangunkan Icha yang baru terlelap sekitar 15 menit. Sontak ia bangun. Nyeri di kepalanya kontan ia rasakan karena terkejut dan bangun secara tiba-tiba.
"Aaaaah...." Icha mengerang merasakan sakit di kepalanya. Ia bangkit seraya terus memegangi kepalanya. Tertatih ia berjalan menuju dispenser. Ia ingin segera meminum air hangat. Setelah minum dan merasa kondisinya membaik, Icha pergi menuju tempat Tante Venty berada.