Hari-hari berlalu begitu berat. Setiap hari Icha harus terus bekerja dan baru usai saat waktu untuk makan malam. Rasanya, Icha seperti tak ingin bertemu pagi. Karena saat pagi datang itu artinya ia harus kembali bekerja untuk Tante Venty. Ia begitu ingin bisa seperti teman-temannya yang lain. Tinggal di kos, bisa belajar sepanjang waktu tanpa ada yang mengganggu. Jika sudah suntuk, mereka bisa pergi ke mana pun yang mereka mau tanpa ada yang melarang. Tapi, mengeluhkan semua itu pun apa gunanya? Tidak akan ada peri yang tiba-tiba datang lalu mengubah hidupnya seperti Cinderella, kan? Icha hanya bisa pasrah.
Makan malam kali itu, semua anggota keluarga berkumpul dan makan bersama. Esok adalah hari pertama Icha masuk kuliah di semester enam. Ia harus mengatakan sesuatu pada Tante Venty.
"Tante, besok kan Icha udah mulai kuliah, jadi Icha gak bisa bantu-bantu Tante masak besok pagi." Icha membuka suara, pelan.
"Memangnya besok kuliah kamu jam berapa?" tanya Tante Venty tanpa memandang Icha, seperti biasa.
"Jam sembilan, sih, Tante. Tapi besok pagi ada rapat organisasi. Jadi Icha harus ke kampus pagi," jawab Icha, masih dengan intonasi yang pelan. Tiba-tiba Tante Venty meletakkan sendoknya dan mendorong piringnya ke tengah meja. Ia menatap Icha tajam, tak lupa melipat kedua tanggannya di atas meja.
"Kamu baru hari pertama kuliah udah ribut sama organisasi? Organisasi di kampus kamu itu anggotanya banyak, kan? Kalau cuma satu orang aja yang gak hadir, gak akan ada masalah, kan? Kalau di sini, yang mau beresin kerjaan rumah siapa? Kamu jangan seenaknya gitu, dong! Memangnya kamu ini siapa?"
Dada Icha bergemuruh. Kalimat terakhir Tante Venty benar-benar menyakiti hatinya. Kali ini Tante Venty benar-benar keterlaluan!
"Tante tahu apa soal organisasi? Memangnya Tante ngerti, kalau pengalaman organisasi itu penting untuk dunia kerja? Memangnya Tante tahu, apa jabatan Icha di kampus? Organisasi ini penting banget buat masa depan Icha, Tante! Memangnya dengan urus-urusin rumah ini bisa bantu apa buat masa depan Icha?" Emosi Icha meledak! Hatinya benar-benar sakit saat ia harus direndahkan oleh anggota keluarganya sendiri. Tapi yang terjadi selanjutnya sangat di luar dugaan Icha. Tante Venty menangis dan pergi meninggalkan meja makan. Icha terperangah.
"Wow, it's cool," ujar Om Akbar, dengan menampakkan senyum sinis yang entah untuk siapa. Setelah itu ia juga pergi menyusul istrinya. Kemudian Nora, Kak Gea--anak sulung Tante Venty--, dan juga suaminya juga turut pergi meninggalkan meja makan. Menyisakan Icha sendiri di sana.
Icha masih terperangah. Mengapa semuanya jadi begini? Air mata Icha merembes deras. Ia menangis seorang diri di meja makan. Tuhan ... di mana letak kesalahannya? Mengapa semua orang bersikap seolah semua ini kesalahannya? Icha menelungkupkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja. Ia menangis.
Beberapa saat kemudian ia bangkit. Masih dengan air matanya yang mengalir, Icha membereskan meja makan. Ia membawa semua piring-piring kotor ke dapur. Lalu mencuci semuanya. Ia masih menangis. Haruskah ia mengasihani dirinya sendiri? Ia tahu tak seharusnya ia memandang dirinya sendiri buruk. Namun perasaannya kini benar-benar hancur. Rasanya ia ingin mati!
Icha lalu berjalan menuju kamarnya. Mengunci pintu, lalu tengkurap di tempat tidurnya. Ia terus menangis. Ia ingin pulang ke rumah ayahnya. Ia tidak ingin disini lagi. Bisakah tempat ini disebut rumah? Rumah ini lebih tepat disebut neraka! Ia bahkan tidak bisa menemukan keberadaan dirinya sendiri di rumah ini. Lama Icha menangis. Hingga akhirnya ia terlelap.
Keesokan harinya Icha bangun saat Subuh. Ia bergegas mandi lalu menyiapkan buku-buku kuliahnya. Setelah semua siap, Icha segera pergi dari rumah itu. Hari masih sangat pagi saat Icha pergi ke kampus. Matahari saja belum menampakkan diri. Icha hanya ingin cepat-cepat pergi, bahkan tanpa berpamitan pada siapa pun di rumah itu. Biar saja jika nanti Tante Venty marah. Memangnya dia bisa apa tanpa Icha? Lagipula, memangnya pernah Tante Venty tidak marah-marah?
Icha sampai di kampus saat satpam penjaga gerbang baru saja menyiapkan kursi-kursi untuk berjaga di depan pos. Icha menyapanya.
"Pagi sekali, Mbak. Ada kelas intensif, ya?" tanya satpam yang Icha sapa.