Sepertinya hari itu adalah hari baik bagi Icha. Dosennya tidak hadir. Akhirnya di kelas, Icha memutuskan untuk menyantap nasi pemberian Kak Awan. Rupanya beberapa temannya yang lain juga melakukan hal yang sama. Dia dan teman-temannya pun menikmati sarapan pagi mereka dengan senda gurau. Benar-benar hiburan untuk hati Icha yang sempat terluka. Canda tawa itu terus berlangsung sampai jam mata kuliah selanjutnya. Mereka pun harus bersiap untuk belajar lagi.
Kuliah Icha berakhir saat menjelang sore. Icha bergegas kembali ke basecamp untuk mengembalikan jaket Kak Awan, juga untuk membicarakan hasil rapat dengan Kak Dila. Namun ternyata sang ketua dan wakil himpunan itu tak ada di sana. Icha pun memutuskan untuk pulang. Saat ia melewati parkiran fakultas, seseorang memanggilnya.
"Icha!"
Gadis itu menoleh ke sumber suara. Kak Awan, bersama, Kak Gea? Bagaimana bisa? Cepat Icha menghampiri mereka.
"Cha, kata Awan tadi kamu pingsan? Kamu langsung pergi aja, sih, tadi pagi. Gak sarapan dulu, kan?"
Icha melirik Kak Awan yang tersenyum tipis.
"Iya, Kak," jawab Icha singkat. Pingsan apanya?
"Sejak akhir semester kemarin Icha sering pucat, Kak. Kalau saran saya, sih, Icha jangan banyak pekerjaan di rumah. Kan, tugas kuliah Icha banyak makin kesini. Ditambah lagi tugas himpunan. Lagian, Icha ini anak buah andalan saya. Kalau tugas Icha keteteran, saya yang repot. Dan juga, sekarang berat badan Icha cuma 40 kg, lho, Kak Gea. Kayaknya Icha benar-benar terlalu banyak kerjaan dan kurang makan."
Icha semakin mengerutkan dahi. Bagaimana bisa Kak Awan mengarang cerita begitu? Terakhir, berat badan Icha memang 40 kg. Terlampau kurus untuk seseorang yang tinggi badannya 157 cm. Tapi itu sudah semester lalu. Bisa saja sekarang berat badannya bertambah.
"Benar berat badan kamu cuma 40 kg, Cha?" tanya Kak Gea, Sepertinya ia terkejut.
"Iya, Kak. Tapi--"
"Ya udah, ayo pulang sama Kak Gea. Nanti kita ngobrol di rumah, ya," ujar Kak Gea seraya menghidupkan mesin motornya. Icha menatap Kak Awan yang tersenyum penuh intrik. Kalau bukan senior dan pimpinannya, mungkin ia sudah menjitak kepala Kak Awan. Icha melempar jaket Kak Awan ke arahnya begitu saja. Laki-laki itu tertawa karenanya. Icha lalu pergi ke tempat motornya sendiri dan mengikuti Kak Gea, pulang.
Di perjalanan, tiba-tiba Kak Gea menepikan motornya saat mereka sampai di tengah kota. Kak Gea berhenti di taman. Icha pun turut menghentikan motornya.
"Kak, kenapa berhenti disini?" tanya Icha sembari melepas helm.
"Kita ngobrol di bangku situ, ya...." Kak Gea menunjuk sebuah bangku di dekat air mancur. Icha hanya mengikuti langkah Kak Gea. Mereka lalu duduk di bangku dan sejenak menikmati pemandangan di sekitar mereka.