Bukan Rumah untuk Pulang

Naa Ruby
Chapter #6

Melupakan

Hari-hari berikutnya dilalui Icha dengan lebih ringan. Frekuensi omelan Tante Venty pada Icha sudah mulai berkurang. Ini semua berkat Kak Gea. Sesekali omelan Tante Venty masih kerap Icha dengar untuk hal-hal yang Icha tidak mengerti dimana letak kesalahannya. Tapi ia tak ingin membuat suasana memanas. Ia dengarkan saja apapun yang dilontarkan Tante Venty. Toh, semua itu terjadi hanya saat ia libur kuliah. Selain itu, ia akan berangkat ke kampus pagi dan pulang saat menjelang malam. Sekalipun jam kuliahnya baru dimulai siang.

Seperti hari itu, pukul 07.00 pagi Icha sudah sampai di kampusnya. Padahal kuliahnya baru dimulai 10.30 nanti. Sempat Icha bingung ia harus kemana untuk menghabiskan waktu selama 3,5 jam. Tapi kemudian, dengan yakin, ia membelokkan motornya ke arah utara, ke masjid kampus.

Suasana masjid cukup sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang salat disana. Juga beberapa yang lain mengaji atau hanya sekedar rebah. Mungkin menunggu jam kuliah seperti Icha. Namun ia tak ingin rebah. Ia berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin menghadap Sang Pencipta.

Usai berwudu, Icha mendirikan dua rakaat salat Duha. Di sujud terakhirnya ia tak segera bangkit. Ia ingin berlama-lama dengan sujudnya. Ia ingin kembali mengadu. Betapa ia merindukan ayahnya. Ia begitu ingin pulang. Ia ingin segalanya usai, kuliahnya, omelan-omelan Tante Venty, semuanya. Ia hanya ingin kembali ke rumahnya sendiri.

Saat hatinya mulai tenang, Icha selesaikan salatnya. Keheningan masjid pagi itu menambah kesyahduan pertemuan para hamba dengan Rabb-nya. Icha melangkah hendak meletakkan mukenah ke lemari saat tanpa sengaja, ia melihat seorang mahasiswi sedang menangis dalam doanya. Perempuan itu duduk berdoa di pinggir pembatas antara pria dan wanita. Tak ada suara ataupun isakan. Namun air matanya deras membasahi mukenah. Masalah apa gerangan yang membuat perempuan itu bersedih? Semoga ia lekas menemukan jalan keluar dari masalah berat yang sedang ia hadapi. Icha berdoa dalam hati.

Icha berlalu pergi ke depan masjid ke tempat sepatunya ia letakkan. Ia hendak pergi ke basecamp. Menghabiskan waktu dengan membersihkan ruangan itu. Seperti waktu itu. Saat Icha sedang memasang sepatunya, ia melihat seseorang yang seperti sudah dikenalnya, berdiri di parkiran masjid. Bersandar pada motor miliknya. Sepertinya orang itu hendak ke gedung laboratorium di samping masjid.

Orang itu adalah Azhar! Kini Icha yakin dengan penglihatannya. Tapi, disana ia juga bersama seorang perempuan. Mereka mengobrol dan terlihat, mesra? Dengan jelas, Icha melihat bagaimana si perempuan memukul lengan Azhar sembari tertawa. Kemudian Azhar memegang pucuk kepala perempuan itu sebelum mengelusnya lembut.

Entah mengapa Icha kesal melihatnya. Ia ingat bagaimana ucapan Angga tentang Azhar dulu. Azhar suka padanya? Suka apanya! Sekarang saja dia sudah mesra begitu dengan perempuan lain. Teringat akan Angga, Icha buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku lalu memotret mereka berdua. Tepat saat Azhar memegang pergelangan tangan si perempuan untuk melipat kemejanya. Icha lalu mengirim foto itu pada Angga. Ia menuliskan "Gak usah sotoy sama perasaan orang."

Sedikit banyak Icha bahagia saat sebagian teman-temannya mengatakan bahwa Azhar menyukainya. Dia juga menyadari kalau laki-laki meneduhkan itu sering memberinya perhatian lebih. Melihatnya berdua bersama perempuan lain begitu membuatnya amat kesal. Namun kemudian, Icha menyadari, ia tak pernah benar-benar membalas perhatian Azhar. Sepertinya wajar jika sekarang laki-laki itu lebih memilih orang yang bersikap lebih hangat padanya.

"Icha!"

Icha tersentak. Terkejut, dadanya sampai berdetak begitu kencang. Dengan mengelus dada, ia menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Sebal.

Lihat selengkapnya