Waktu berjalan begitu cepat. Atau justru lambat? Icha sedang merenungi hal itu. Pada suatu siang yang terik, ia sedang menikmati hembusan angin menyejukkan yang sesekali menerbangkan anak rambutnya. Gadis itu berdiri bersandar pada pagar setinggi dadanya yang mengitari koridor ruang kelas kuliah. Icha memangku kedua tangannya di atas pagar. Ia menatap lurus, ke arah pemukiman penduduk di belakang kampus. Dari lantai tiga itu, ia bisa menyaksikan pemandangan di sana dengan leluasa.
Icha sedang merenungi jalan hidupnya. Hidupnya yang kini tak lagi terasa berat karena Tante Venty, namun karena hal lain. Permasalahan Tante Venty ia rasa sudah tak terlalu membebaninya. Namun mengapa beban hidup rasanya masih saja mengikuti. Dan kini persoalan lain yang membebaninya. Persoalan kali ini terasa lebih absurd namun berat. Karena persoalan ini mengenai masalah hati. Masalah perasaan.
Berbulan lamanya, Icha serasa terus dihantui kejadian saat ia melihat Azhar mengobrol mesra dengan seorang perempuan di parkiran masjid. Ia sendiri tidak mengerti, mengapa kejadian itu begitu mengusiknya? Ia ingin lupa, tapi tak bisa. Tiap kali mengingat hal itu, ia merasa seperti ada sesuatu yang amat berat sedang menindih hatinya. Sesak.
Icha membuang napasnya keras. Sampai kapan ia harus seperti ini? Ia harus segera membuang Azhar dari pikirannya jauh-jauh, juga dari hatinya.
"Cha."
Icha menoleh. Kak Awan, laki-laki tampan itu tampak baru keluar dari ruang basecamp yang terletak di dekat lobi. Dia kini tak lagi menjadi pimpinan Icha, karena tugasnya sudah purna. Icha dan teman-teman seangkatannya pun tak lagi menjadi anggota organisasi itu. Ia dan kawan-kawannya kini menjadi dewan penasihat saja. Kini organisasi itu dikelola oleh adik-adik tingkat Icha.
"Cha, abis ini kamu ada kuliah lagi, gak?" Kak Awan bertanya. Ia berjalan mendekat.
"Enggak, Kak. Kenapa?" Icha balik bertanya.
"Ke Bu Najma, yuk. Sekarang," ujar Kak Awan. Sepertinya ia memang sudah bersiap pergi, karena ia sudah menggenggam kunci motornya. Icha pun mengangguk setuju lalu berjalan dengan cepat ke arah basecamp.
"Loh, Cha. Mau ke mana?" Kak Awan bertanya bingung melihat gerak-gerik Icha.
"Mau ambil kunci motor, Kak, di tas. Ruangan Bu Najma di gedung SAC, kan? Jauh," jawab Icha setelah berbalik berdiri di ambang pintu basecamp.
"Kamu bonceng aku aja. Nih, pakai motorku," kata Kak Awan memperlihatkan kunci motor di tangannya.
"Tapi, Kak--"
"Bonceng aku aja. Ayo berangkat."
Nada memerintah itu mulai terdengar lagi di telinga Icha. Sebenarnya perintah-perintah yang dilontarkan Kak Awan selalu terdengar lembut, pelan, tidak keras, apalagi terkesan galak atau membentak. Tapi ucapannya selalu bisa membuat siapa pun kesulitan untuk menolak apalagi membantah. Icha sendiri tidak mengerti dengan hal itu.
Icha dan Kak Awan harus melewati beberapa gedung untuk bisa sampai di gedung Self Access Center (SAC), tempat ruangan Bu Najma berada. Cukup jauh, akan sangat melelahkan jika mereka berjalan kaki. Saat keduanya sampai di depan gedung dan memarkir motor, mereka pun melangkah masuk. Hawa dingin dari pendingin ruangan seketika menyapa tubuh mereka, kontras sekali dengan teriknya udara panas di luar gedung.
Tok tok tok...
"Assalamu'alaikum, Bu..." Kak Awan mengucap salam di depan pintu sebuah ruangan.
"Iya ... masuk...." Dari dalam ruangan terdengar sahutan Bu Najma, dosen wali Icha yang cantik dengan kacamata yang menghiasi kedua mata indahnya. Kesan cerdas selalu tampak dari wajahnya yang selalu penuh percaya diri.