Icha menghirup udara dalam-dalam, menghirup udara sore yang bebas masuk lewat jendela kamarnya. Ia sangat suka berada di sana. Duduk dan menatap ke luar jendela. Tak ada pemandangan yang istimewa. Hanya jalan yang tak terlalu lebar yang memisahkan rumahnya dengan rumah tetangga. Tapi di sepanjang jalan yang kerap dilewati warga kampungnya itu juga ditanami berbagai bunga.
Keluarga Icha dan keluarga tetangganya itulah yang menanam dan merawat bunga-bunga itu. Hingga membuat jalan yang tak begitu lebar itu indah dan nyaman dilalui. Tak jarang pula banyak anak-anak yang berlarian di sepanjang jalan hanya untuk bermain. Maka, jadilah jendela kamar Icha menjadi tempat kesukaannya.
"Nak, ada Fitri, tuh," ayah Icha tiba-tiba menegur dari ambang pintu kamar anak gadisnya. Icha teringat, tadi pagi ia memang menghubungi Fitri dan menyuruhnya datang. Icha pun berlari ke ruang tamu. Benar saja, sahabatnya itu sudah duduk manis di sana. Icha menghampiri lalu memeluknya.
"Nginep, kan?" tanya Icha tanpa basa-basi. Fitri mengangguk mantap.
"Tapi besok kamu ikut, ya, ke kampusku."
"Ngapain?"
"Bantu nugas." Fitri menampakkan cengiran. "Aku lupa gak bawa tugasku ke sini. Kamu gak lagi repot, kan? Diizinin gak sama ayahmu?" Fitri lalu menampilkan tatapan memohon. Membuat Icha tersenyum geli.
"Gak lagi repot, kok. Tugas dosen pembimbing tinggal tunggu feedback. Kalau soal izin gampang." Mereka pun tersenyum senang.
Icha lalu mengajak Fitri ke kamarnya. Menikmati udara sore di jendela kamar.
"Cha, kamu gak mau cerita sesuatu?" tanya Fitri tiba-tiba sembari melahap kue yang disuguhkan ayah Icha sebelumnya.
"Cerita apa?" Icha mengernyit, lalu menyeruput teh yang sebelumnya juga telah dibuatkan oleh ayahnya.
"Soal Rizky."
Icha tersedak. Bagaimana bisa sahabatnya itu tiba-tiba bertanya soal Rizky? Icha terbatuk beberapa saat. Fitri sampai harus membantu menepuk-nepuk punggung Icha untuk meredakan batuknya.
"Kenapa tiba-tiba tanyain Rizky?" Icha bertanya setelah batuknya mereda. Fitri hanya mengangkat bahu.
"Kayaknya dia lagi dekatin kamu," jawab Fitri kemudian.
"Kenapa menyimpulkan begitu?"
"Karena teman-teman juga bicarain itu."
"Yang benar aja!" Icha tak habis pikir. Bagaimana bisa Rizky dan dirinya menjadi pembicaraan teman-temanya? Rizky hanya pernah meneleponnya sekali, dan, itu tidak berarti apa-apa, bukan? Icha menggeleng-gelengkan kepalanya.