"Kapan Mas Evan ke rumahmu?" Icha bertanya pada Angga. Saat itu mereka sedang berada di pantai luar kota, bersama teman-teman SMA mereka, anak-anak kelas unggulan.
"Masih pagi kemarin itu, sekitar jam 10."
Icha dan Angga duduk di pasir pantai, tak ikut bermain air laut seperti yang lain. Mereka hanya menyaksikan keceriaan teman-teman mereka yang sedang menikmati hari libur.
"Mas Evan juga udah cerita sedikit masalahnya," lanjut Angga lagi. Memang, Angga sudah cukup dekat dengan Mas Evan dan ayahnya. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Angga begitu memperhatikan dan menjaga Icha.
"Dan menurutku kamu gak seharusnya kabur begini," ucap Angga lagi.
"Jadi sekarang kamu belain para monster itu?" tanya Icha. Ia membenamkan jemari kakinya di pasir pantai. Terdengar helaan napas Angga.
"Mereka bersikap begitu karena punya alasan, Cha."
"Selama ini mereka gak pernah begitu. Kenapa sekarang harus berubah?"
Tak ada lagi sahutan dari Angga. Mereka terdiam dengan isi pikiran masing-masing.
"Jangan bilang kamu udah kasih tau Mas Evan kalau aku lagi ada di sini." Icha melirik Angga sinis.
"Enggak, kok. Aku mau aku sendiri yang antar kamu pulang."
"Aku gak mau pulang!"
"Gak apa-apa. Yang penting aku tau kalau kamu aman, gak masalah."
Icha menatap curiga pada Angga yang sedang meregangkan tubuhnya.
"Aku mau cari minum dulu. Kamu tunggu sini, ya."
Icha mengangguk kecil. Angga pun berlalu. Icha memain-mainkan pasir di kakinya. Ia memikirkan ayah dan kakaknya. Pasti mereka sekarang sangat mengkhawatirkan Icha. Biarlah, siapa suruh mereka bersikap dan berkata-kata kasar di depan Icha. Membuatnya justru menjadi takut untuk bertemu mereka lagi.
"Hai, Cha," sapa seseorang pada Icha. Ia lalu mendongak, melihat Andri dan Rizky berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Ia tersenyum pada keduanya. Namun kemudian, Rizky pergi begitu saja. Icha teringat saat ia sedikit membentak Rizky saat di telepon. Mungkin Rizky masih marah.
"Boleh duduk sini?" Andri menunjuk tempat di samping Icha. Gadis itu mengangguk.
"Apa kabar?" tanya Icha. Tiap kali bertemu dengan Andri, Icha selalu ingin tau perkembangan studinya. Icha sangat terkesan, karena temannya itu bisa menyelesaikan sarjananya dengan sangat cepat.
"Gak begitu baik."
Jawaban Andri yang tak terduga mengagetkan Icha.
"Loh, kenapa?"
"Ibuku sakit, Cha. Cukup parah, tapi baru terdeteksi."
"Emang ... ibumu sakit apa?"