Bukan Rumah untuk Pulang

Naa Ruby
Chapter #18

Maaf

Icha bersembunyi di balik punggung Kak Alya. Ia tidak mau melihat wajah 3 orang laki-laki itu! Ini semua pasti ulah Angga. Pasti dia yang sudah membawa ayah dan kakaknya ke rumah itu. Napas Icha memburu. Rasa benci semakin membeludak di dalam hatinya. Saat itu semua orang sudah berdiri berhadapan di ruang tamu.

Andri berdehem. "Cha, ayahmu udah jemput--"

"Pasti kamu. Kamu, kan, yang udah kasih tau Ayah kalau aku di sini?" Icha menunjuk wajah Angga dengan jari telunjuknya. Kilat kemarahan terpancar jelas di mata Icha.

"Aku gak akan kasih tau kalau kamu perginya ke rumah Ina. Tapi kamu malah ke sini," jawab Angga enteng. Sikap tenang Angga itu justru membuatnya muak!

"Dek, Mas Evan yang salah. Kita bisa bicarain ini baik-baik. Gak kabur begini juga solusinya."

"Oh iya? Jadi sekarang Mas Evan salahin Icha?" Icha menatap Mas Evan penuh kebencian.

"Nak, jangan gitu, dong. Ayo pulang sama Ayah," ucap ayah Icha lembut. Membuat hati Icha bergetar. Sebenarnya ia rindu ayahnya. Tapi seketika perasaan itu sirna saat mengingat ucapan kasar yang sempat ayahnya lontarkan.

"ICHA GAK MAU!" balas Icha keras. Suaranya bergetar. Dadanya kian bergemuruh. Ia tidak pernah berucap sekasar itu pada ayah dan kakaknya. Tapi kekecewaan di dalam hatinya benar-benar telah menggumpal. Ayah Icha tampak terkejut dan terpukul dengan sikap putrinya itu. Ia menatap Icha sedih. Membuat keras hati Icha runtuh. Ia menangis.

"Dek, pulang, ya." Sikap Mas Evan pun melembut juga.

"Gak mau..." balas Icha lemah di sela tangisnya. Ia semakin terisak ketika Kak Alya memeluknya erat.

"Kalau Icha di sini nanti Paman sama Bibi jadi repot," ucap ayah Icha mencoba membujuk. Icha masih terisak di pelukan Kak Alya. "Icha mau apa biar mau pulang? Ayah sama Mas Evan pasti turutin."

Perlahan Icha pun menatap ayahnya.

"Icha gak mau pulang sebelum ibunya Andri sembuh!"

Semua orang terpana dengan ucapan Icha. Terutama Andri.

"Cha...?" Laki-laki itu tak sanggup mengatakan apa-apa lagi.

"Iya. Ayah janji ibunya Andri akan mendapatkan pengobatan terbaik sampai sembuh. Ayah yang akan urus semuanya. Icha sekarang pulang, ya, Nak." Mata ayah Icha mulai berkaca-kaca. Pria itu mengelap matanya sekilas.

"Icha bilang, Icha gak mau pulang kalau ibunya Andri belum sembuh!" Icha kembali histeris. Air matanya berurai di pipi. Gadis itu benar-benar marah. Tak ada yang bisa meredakan amarah Icha malam itu. Semuanya duduk terdiam. Menyisakan Icha yang menumpahkan segala emosinya dengan menangis di pangkuan Kak Alya.

Icha tak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya tiap kali ia marah, ia akan berlari pada ayah atau kakaknya yang akan menenangkannya dengan lembut. Tapi sekarang, dua orang itu lah yang justru membuat Icha marah. Mereka lah yang membuat Icha begitu kecewa. Kini ia merasa tak lagi memiliki tempat untuk mengadu. Saat ia menyadari ia hanya memiliki ayah dan kakaknya di dunia ini, mereka justru berubah. Membuat Icha merasa tak lagi memiliki arti hidup di dunia.

"Icha gak mungkin tinggal di sini terus. Nanti Paman sama Bibi repot, Nak," bujuk ayah Icha lagi saat tangis putrinya sudah mereda. Tapi air mata Icha masih saja mengalir. Ia membisu. Sama sekali tak berminat mengatakan apapun.

"Icha sekarang pulang dulu, ya, sama Ayah. Nanti, kan, Icha bisa ke sini lagi buat jenguk ibunya Andri. Atau waktu ibunya Andri berobat ke rumah sakit," ayah Icha masih mencoba membujuknya.

"Icha gak mau lagi serumah sama Ayah."

Lihat selengkapnya