"Kayaknya kita berangkat siang aja, Cha. Kalau perlu pagi ini," ucap Angga yang masih berdiri di hadapan Andri. Tangan Angga bersedekap, menunjukkan sikapnya yang angkuh. Icha amat tak menyukai itu.
"Kenapa berubah pikiran tiba-tiba?" tanya Icha menyelidik sinis. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu.
"Siap-siap, gih," ujar Angga yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Icha. Ia lalu pergi dari hadapan Andri. Berjalan menuju kamar tamu yang semalam ia tempati. Icha mengejar.
"Kenapa? Gara-gara ada Andri?"
"Menurutmu?" Angga masih terus berjalan.
"Dia itu teman kamu, Angga! Teman kita! Kenapa sikap kamu malah jadi kayak musuh gitu, sih?"
Angga berhenti melangkah, tepat di depan pintu kamar tamu. Ia berbalik menghadap Icha.
"Aku gak suka aja kalau dia terlalu dekat sama kamu. Lagian, tiba-tiba aja aku ingat. Aku ada urusan penting banget sama Azhar. Jadi harus cepat-cepat," jawab Angga seraya hendak memasuki kamar.
"Kalau gitu kamu pergi aja sendiri. Aku gak mau berangkat sekarang."
"Kamu. Harus. Pergi. Sama. Aku!" Angga menutup pintu kamar begitu saja di depan muka Icha.
"EGOIS!" Icha memukul pintu kamar itu keras. Ia kesal. Dengan menghentak-hentakkan kaki ia kembali ke ruang tengah. Menghampiri Andri yang sudah duduk di sofa. Icha turut duduk di sampingnya. Wajahnya cemberut.
"Tau gitu ngapain aku pulang semalam!" gerutu Icha. Sepertinya keputusannya semalam sudah salah!
"Kenapa lagi, sih? Kamu udah benar, kok. Ini rumah kamu. Jadi kamu emang harusnya pulang ke sini," sahut Andri tenang. Icha heran, sepertinya Andri selalu bersikap tenang dalam keadaan apapun. Saat Ina berpacaran dengan Afif, saat ibunya sakit, dan saat Angga, atau lebih tepatnya anak-anak top 10, bersikap seenaknya, Andri masih selalu bisa bersikap tenang. Hebat.
"Kamu gak lihat gimana sikap Angga barusan? Pasti dia disuruh Ayah juga buat terus awasin aku!"
"Itu artinya mereka semua sayang sama kamu."
"Kalau sayang sama aku harusnya mereka percaya, dong, sama aku. Biarin aku bebas pergi ke mana pun. Bebas melakukan apa pun yang aku mau!"
Andri tampak menghela napas.
"Cha." Andri menepuk lutut Icha. "Dengarin aku. Apa yang kita dapatkan, itu tergantung sama apa yang kita pikirkan. Kalau kita berpikir kita sedang menerima sebuah anugerah, ya itu yang kita dapat. Kalau berpikir kita sedang menerima musibah, ya itu juga yang kita dapat. Kamu harus sering-sering melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang-orang yang tidak seberuntung kita. Biar sesuatu yang kamu anggap musibah, berubah jadi anugerah."
Icha kemudian terdiam. Merenungi semua perkataan Andri. Mencernanya baik-baik.
"Maaf, ya, Andri, udah tunggu lama." Ayah dan kakak Icha keluar dari ruang kerja ayahnya.
"Gak apa-apa, Om. Sambil ngobrol juga barusan sama Icha." Andri tersenyum. Ayah dan kakak Icha lalu duduk. Mengeluarkan sebuah map berisi lembaran-lembaran kertas.
"Apa itu, Yah?" Icha bertanya ingin tau.
"Ini surat-surat yang dibutuhkan Andri buat pengobatan ibunya. Siang ini Mas Evan mau ikut antarin ibunya Andri. Sekalian urus rumah sakitnya," jelas Mas Evan, menjawab pertanyaan Icha.
"Icha ikut!"