Angga mendorong pundak Azhar sampai Azhar mundur beberapa langkah.
"Ngapain pakai mau ikut jengukin ibu anak itu? Gak ada kerjaan yang lebih penting?"
Sebegitu bencinya kah Angga pada Andri? Ada masalah apa sebenarnya antara Angga dan Andri? Apa benar cuma karena Andri bukan bagian dari mereka? Icha diam memandang dua laki-laki di hadapannya yang sedang bertengkar itu. Sebelumnya ia tak pernah melihat keduanya begitu. Mereka selalu akur. Dan siang itu mereka bertengkar hanya gara-gara Andri?
"Udah, Zar. Gak usah ikut jengukin ibu Andri, kalau nantinya kamu cuma mau cari masalah sama dia. Kayak Angga." Angga melirik Icha tajam saat namanya disebut. "Gak ada yang suruh kalian pikirin Andri. Kalau kalian gak suka, lupain dia. Kalian bisa hidup di dunia kalian sendiri. Gak usah juga ganggu-ganggu hidup dia. Dia juga gak pernah ganggu hidup kalian, kan?" Keduanya terdiam. Tapi Icha yakin, ada banyak kata-kata yang tersimpan dalam pikiran mereka untuk disampaikan. Mungkin mereka masih bingung apa yang harus mereka keluarkan lebih dulu.
"Aku emang pengen jengukin ibunya Andri, Cha. Aku gak ada niat lain. Gak ada niat buruk juga."
"Kenapa tiba-tiba pengin jenguk ibu anak itu?" Angga bertanya sinis. Mereka sudah lebih tenang. Tapi raut wajah Angga jelas menyiratkan kalau dia tidak menyukai keinginan Azhar.
"Dulu waktu kita masih sekolah aku pernah ketemu ibunya Andri. Beliau yang tenangin orang tuaku waktu dulu dipanggil sekolah gara-gara aku masuk BP. Kalau gak ada ibunya Andri waktu itu yang kebetulan lagi ada urusan di sekolah, mungkin orang tuaku udah marahin aku habis-habisan. Bahkan mungkin suruh aku berhenti sekolah. Tapi dulu egoku terlalu tinggi. Aku sama sekali gak berterima kasih sama ibu Andri itu. Sama Andri pun aku cuek. Aku cuma mau berterima kasih sekarang. Ini bukan soal Andri, Ga. Ini soal ibunya."
Icha tercenung. Ia terpana dengan isi pikiran dan hati nurani Azhar. Ia tau kalau Azhar sebenarnya memang baik. Andaikan saja ia masih boleh menyukai Azhar saat itu.
"Ya udah, kalau gitu aku ikut juga. Aku ikut kalian jenguk ibunya Andri," ucap Angga kemudian.
"Udah berubah isi pikiran kamu?" tanya Icha tajam. Ia sama sekali tak bisa mempercayai Angga setelah melihat sikapnya selama ini pada Andri.
"Kata Azhar ini bukan soal Andri, kan? Ini soal ibunya. Aku cuma keingat Papa yang punya penyakit yang sama kayak ibunya Andri. Gimana pun, aku gak mau lihat kejadian waktu dulu Papa meninggal keulang lagi."
Icha kembali terdiam. Siang itu dua laki-laki di hadapannya benar-benar telah mengaduk-aduk perasaannya. Rasanya ia ingin menangis saja.
"Kok jadi mellow gini, sih? Udah, yuk, pulang!" ujar Icha mengajak. Lebih agar ia tak benar-benar menangis.
"Ya udah, kalian duluan aja. Nanti kita ketemu di terminal. Aku mau ambil baju dulu."
Icha dan Angga mengangguk mengiyakan. Setelahnya, Azhar pun pergi.
Bus mereka bertiga berangkat pukul satu siang. Sudah pasti mereka akan sampai malam hari. Icha duduk berdua dengan Angga. Sementara kursi yang ditempati Azhar berada di depan keduanya. Sepanjang perjalanan Icha tidur, seperti biasa.
"Cha, abis ini kamu mau langsung pulang apa ke rumah sakit dulu?" tanya Angga membangunkan Icha saat mereka sudah hampir sampai.
"Hmmm? Ngapain di rumah sakit?" Mata Icha masih terpejam saat ia balik bertanya.
"Ibunya Andri terakhir pemeriksaan. Tadi Mas Evan yang telepon." Angga menggoyang-goyangkan lengan Icha yang tidur di pundaknya agar benar-benar terbangun. Icha melihat jam tangannya, pukul tujuh lewat. Dari kaca bus, langit terlihat sudah gelap.
"Berarti Mas Evan di rumah sakit?" Kini Icha sudah duduk tegak. Angga mengangguk.