Icha memperhatikan sekelilingnya. Gadis yang saat ini berusia 21 tahun itu bersama sebagian teman-temannya duduk di teras rumah Yani. Sedangkan yang lain bersenda gurau di halaman rumah Yani yang amat luas. Icha selalu suka momen seperti itu, momen-momen saat reuni SMA satu angkatan, yang tidak pernah dihadiri oleh lebih dari 45 orang. Karena mereka, anak-anak kelas unggulan. Yang selalu menjadi prioritas sekolah, dan yang memiliki pertemanan sangat solid selama bertahun-tahun.
"Aku mau masuk dulu, ya. Mau ambil minum, haus," ujar Icha pada teman-temannya seraya berdiri. Tapi Angga menarik tangannya.
"Kamu di sini aja. Biar aku yang ambil," kata Angga hendak berdiri juga.
"Gak usah, Ga. Biar aku ambil sendiri. Kamu mau aku ambilin minum juga?"
"Udah, aku aja yang ambil. Kamu duduk situ." Seperti tak mendengar perkataan Icha, Angga meneruskan langkahnya menuju dapur rumah Yani.
Saat teman-teman di sampingnya tengah asik mengobrol, Icha menyeret duduknya ke tepi teras. Menjatuhkan kedua kakinya ke tanah halaman rumah Yani. Ia mengingat saat terakhir kali ia ke rumah itu.
Saat ia tidak bisa menikmati acara reuni mereka dengan leluasa. Karena Tante Venty yang memaksanya pulang. Ah, pulang? la pernah menyebut rumah wanita itu tempat untuk pulang? Icha tak percaya.
Mengingat Tante Venty, Icha jadi teringat saat ia mengusir Tantenya itu beberapa bulan lalu dari rumahnya. Ia masih tidak percaya ia berani berkata begitu pada Tante Venty. Tapi, kenapa ia harus tidak berani? Amarahnya sudah tidak bisa lagi ia pendam. Tantenya itu sama sekali tidak berhak memperlakukan Icha dengan tidak baik. Orang itu tidak berhak menghardik ayahnya. Wanita itu tidak berhak mengambil perusahaan keluarga mereka yang berkembang karena hasil usaha ayahnya sendiri. Tante Venty sama sekali tidak berhak atas itu semua. Tidak sama sekali!
Setelah Tante Venty benar-benar pergi, mengikuti ucapan dan gertakan Icha, dengan ekspresi wajah yang tak karuan bentuknya, Icha langsung meminta maaf pada Ayahnya. Ia sadar, perkataannya akan membuat hubungan ayahnya dan Tante Venty akan semakin renggang sejak saat itu. Tapi ayah Icha justru merasa bangga dengan keberanian puterinya itu. Ayahnya berkata, bahwa Icha sudah meletakkan keberaniannya di tempat yang tepat. Mas Evan juga menenangkannya. Katanya, Tante Venty juga perlu memikirkan kesalahan-kesalahannya sendiri selama ini. Tante Venty perlu berpikir lebih bijak.
"Hei, bengong aja. Nih, minum dulu," tegur Azhar sembari meletakkan satu gelas cokelat dingin di depan Icha.
"Loh Zar, Angga mana?" tanya Icha celingukan, ia juga baru sadar ternyata teman-temannya yang tadi mengobrol sudah tidak dilihatnya lagi. Tersisa beberapa orang saja yang masih bermain-main di halaman.
"Dia masih ke kamar mandi. Terus minta aku antarin ini buat kamu." Azhar menunjuk cokelat dingin di hadapan Icha. Gadis itu mengangguk singkat
"Hai, Ndri." Icha melambai ke arah Andri yang sedang berjalan membawa segelas teh. "Mau ke mana? Duduk sini aja," ajak Icha. Selain karena tidak nyaman jika harus berdua saja dengan Azhar, ia juga ingin melihat reaksi keduanya. Ternyata Andri benar-benar menghampiri Icha Dan Azhar masih duduk di tempatnya. Itu mengejutkan. Tapi mereka berdua, kan, memang sudah akrab waktu di rumah sakit. Keheranan Icha lalu menghilang.
"Hai, apa kabar?" Sapa Andri seraya menatap Icha lalu Azhar.