Bukan Rumah untuk Pulang

Naa Ruby
Chapter #26

Dia Tidak Egois

Teman-teman perempuan Icha yang tadinya berkumpul di ruang tamu terpaksa menarik Icha paksa ke dalam kamar Yani. Pasalnya gadis itu dengan ekspresi tanpa dosanya berkata, "Kenapa, sih harus ada top 10?" Sebelum anak-anak yang lain, terutama Angga mendengar dan tercipta keributan yang bisa dipastikan luar biasa, di sanalah mereka akhirnya. Di kamar Yani yang cukup luas untuk menampung belasan anak perawan itu.

"Cha, apaan, sih, tanya begitu?" Fitri membuka pembicaraan dibarengi dengan tatapan teman-temannya yang lain yang jelas tertuju pada satu titik yang sama, yaitu Icha, tapi dengan arti tatapan yang berbeda-beda, Icha tau itu.

"Kenapa? Kenapa, sih, harus ada top 10?" Icha mengulangi pertanyaannya. Ia memandangi teman-temannya satu persatu. "Jujur, deh. Emang kalian nyaman sama pertemanan kayak gini? Kita kayak bukan teman, kita kayak tetangga baru yang saling jaga jarak. Kita emang dekat, tapi gak akrab." Icha mulai mengungkapkan segala isi hatinya. "Yan, jujur sama kita semua. Kamu emang nyaman sama semua ini?" Yani yang tak menyangka akan mendapat pertanyaan langsung seperti itu dari Icha sedikit gelagapan.

"Mmm ... awalnya aku risih juga. Sejak ada julukan top 10 yang entah siapa yang bikin, aku ngerasa gak terima, awalnya." Akhirnya Yani bicara, setelah rasa terkejutnya reda. "Aku iri. Aku iri kenapa bukan aku yang jadi bagian dari kalian. Terlebih aku kesal. Aku kesal aku gak bisa leluasa berbaur sama kalian. Ketika aku ada di tengah-tengah kalian aku ngerasa asing. Mungkin kita emang masih saling bercanda, tapi gak tau kenapa perasaan dan pikiranku selalu nyadarin aku kalau kalian itu beda. Sedekat apapun kita, aku tetap ngerasa kita beda. Dulu, di berbagai kesempatan aku selalu ingin berbaur sama kalian. Aku ingin nunjukin kalau top 10 sama aja kayak yang lain. Tapi lama-lama aku nyerah. Perasaan iri, minder, dan sebagainya terus-terusan menghantui aku tiap aku ada di tengah-tengah kalian. Aku juga perlu ngerasa tenang, kan? Dan aku bisa bergaul dengan tenang dan leluasa saat aku bersama teman-teman yang lain yang bukan bagian dari kalian." Icha memejamkan mata. Sejak saat itu juga ia semakin membenci kata-kata itu. Bagian dari kalian. "Dan sekarang begini aja aku udah bahagia, kok. Kalian semua memilih rumahku buat tempat reuni, dua kali. Apa itu masih kurang?" lanjut Yani. Sebuah senyum manis terukir di wajahnya. Sedikit meredakan gejolak di hati Icha.

"Lagian, Cha." Seorang teman Icha lainnya--yang namanya Melly--menyambung. "Masing-masing dari kita punya zona nyamannya sendiri-sendiri. Kamu nyaman sama top 10, kami nyaman sama teman-teman kami sendiri. Dan menurutku itu gak masalah, selagi kita semua masih akur-akur aja. Aku udah bangga banget, kok, jadi bagian dari kelas unggulan. Aku rasa aku gak butuh apa-apa lagi," lanjut Melly terlihat begitu yakin dengan ucapannya itu. Sesaat kemudian mereka mendengar suara Ibu Yani memanggil anaknya. Yani pun bergegas keluar kamar.

"Aku gak suka aja lihat sikap anak-anak yang berlebihan. Apalagi Angga, dia kelewat egois. Semua perkataannya harus dituruti. Kalian semua juga kenapa mau-mau aja, sih, diatur-atur sama orang kayak dia?" Icha masih kesal. Ia masih tidak habis pikir, masih membutuhkan jawaban.

"Gak semua kayak Angga, kan, Cha. Buktinya kamu, Fitri, lna, dan yang lain gak begitu sama kami. Kita bisa berteman biasa. Mungkin juga Angga punya alasan sendiri buat bersikap begitu," jawab Melly. Di saat seperti ini entah mengapa Icha justru merasa Melly sedang membela Angga. Yang benar saja!

"Udah, dong, Cha. Kalau Angga tau soal ini kita semua bakal benar-benar ribut." Ina kemudian berucap frustasi. Icha menghembuskan napas keras. Angga, Angga, Angga. Sumber masalah memang dari dia! ingin sekali Icha mencekal leher kakaknya itu!

"Hello, girls. Ada yang mau bantuin aku siapin makan malam?" Tiba-tiba Yani melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Beberapa teman-teman Icha keluar kamar, sedangkan yang lain sepertinya masih enggan meninggalkan tempatnya, termasuk Icha.

"Cha, keluar, yuk," ajak Ina seraya menarik tangan Icha. Namun yang ditarik tak mau bergerak, enggan.

"Males, ah. Ntar di luar ketemu Angga, lagi. Aku malas lihat mukanya," balas Icha justru merebahkan kepalanya di atas tumpukan bantal dan selimut di ranjang Yani.

"Ayo, Cha. Ntar aku, deh, yang pasang perisai kalau ada Angga. Lagian aku juga gak mau kamu ketemu Angga terus ngomong macam-macam di depan dia dan benar-benar bikin ribut." Kini Fitri turut membujuk dan menarik tangan Icha. Gadis itu pun akhirnya menurut. 

Mereka bertiga melangkahkan kaki kembali ke teras, tempat favorit teman-teman Icha saat di rumah Yani. Sebenarnya mereka ingin bergabung di dapur, membantu menyiapkan makan malam. Tapi ternyata di dapur sudah ramai. Mereka juga sempat ingin kembali ke kursi ruang tamu, tapi di sana juga sudah ditempati teman-teman laki-laki. Di sini lah mereka akhirnya, teras depan rumah Yani.

Lihat selengkapnya