Hari bahagia Kak Awan dan kak Dila pun tiba. Seperti niat Icha sebelumnya, ia pergi ke acara bahagia dua seniornya itu bersama teman-teman himpunannya. Ia tak ingin berharap Azhar akan pergi bersamanya, karena sudah pasti laki-laki itu pergi dengan Arin. Ah, sudahlah.
Sampai di tempat acara yang digelar di halaman belakang rumah Kak Dila, Icha harus memandang takjub dengan konsep pernikahan yang dinilainya mungkin bertema semacam modern minimalis itu. Nuansa putih mendominasi, mulai dari pintu masuk sampai panggung pelaminan.
Kain cokelat yang membentang dari atas pelaminan sampai pintu masuk juga dihiasi pom pom kertas berwarna putih, cute sekali. Ditambah, Icha melihat, pelaminan dua seniornya itu tidak memakai gebyok seperti pelaminan jawa yang sering ia lihat. Di belakang kursi keduanya terdapat papan berwarna putih yang dihiasi frame jendela kayu. Seperti menjadi pelengkap keindahan, dua buah chandelier berdiri di sisi kanan dan kiri, di samping tempat duduk orang tua kedua mempelai.
Setelah mengisi buku tamu dan memberikan kado pernikahan, Icha dan teman-temannya langsung diarahkan ke meja prasmanan. Setelah memilih untuk mengambil sepiring siomay, Icha bersama yang lain menuju meja tamu yang sudah disediakan. Sebuah tulisan nama himpunan prodinya di atas meja, menjadi pertanda bahwa tempat itu khusus untuk mereka.
Di kursi pelaminan, Icha melihat kak Dila melambai kecil ke arah mereka. Seniornya itu terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putihnya, sangat serasi dengan Kak Awan yang juga memang tampan. Icha tersenyum bahagia melihat keduanya. Sebuah doa baik ia panjatkan dalam hati untuk mereka berdua.
Saat Icha tengah asik menikmati hidangan pesta, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang yang duduk di sampingnya, Lina. Icha lalu menoleh ke arah temannya itu.
"Ada apa?" tanyanya. Dengan sebuah gerakan kepala, Lina mengisyaratkan agar Icha mengikuti arah pandangnya. Di sana, di barisan meja di balik punggung mereka, Icha dapat melihatnya dengan jelas. Ia membulatkan mata sesaat, namun kemudian mampu bersikap tenang kembali.
Di barisan meja itu, Icha melihat Azhar bersama Arin. Benar dugaannya, laki-laki itu memilih pergi bersama wakilnya, wakilnya yang cantik, anggun, dan hangat. Icha kembali membalikkan badan, tak ingin berlama-lama melihat pemandangan yang membuat suasana hatinya gerah.
Bagaimana bisa ia tak melihat keberadaan mereka sebelumnya? Tapi dengan posisi keduanya yang menghadap ke arah meja Icha, harusnya mereka juga menyadari kedatangannya, kan? Apa karena mereka terlalu asik berduaan sampai kedatangannya bersama teman-teman yang lain tidak mereka rasakan?
"Cha, itu cowok yang waktu itu datang pas kita sidang, kan? Azhar ya kalau gak salah namanya?" tanya Lina memastikan. Gadis itu tampak penasaran, rasa penasaran yang membuat hati Icha lantas tidak karuan. Icha pun hanya menggumam menanggapi. "Tapi, Cha, kenapa dia gak sama kamu? Kalian pacaran, kan?" Icha sontak tersedak. Ia menggeleng dan menggoyang-goyangkan tangannya. Lina buru-buru mencari segelas air mineral untuk Icha. Setelah minum dan berhasil menangkan diri serta tenggorokannya, Icha menarik napas sejenak lalu kembali makan. Dasar Lina!
"Emang ada yang bilang kalau aku sama dia pacaran?" tanya Icha kemudian. Di saat seperti ini, Lina tak boleh sampai tau apa yang sebenarnya ia rasakan. Icha harus terlihat normal dan baik-baik saja.
"Tapi waktu itu, kalian gak ada yang protes waktu aku bilang dia pacarmu. Iya, kan?" Lina tampak mengejar rasa ingin tahunya.
"Bukan berarti aku sama dia pacaran juga, Lin," jawab Icha tenang.
"Terus, cewek itu siapa?" Lina bertanya lagi.