Seminggu setelah hari wisuda Icha, ayahnya merayakan kelulusan sang anak bungsu itu dengan mengundang keluarga terdekat untuk datang ke rumah utamanya. Di sana mereka disediakan berbagai makanan dan juga bahan makanan yang bisa mereka olah lagi. Itu adalah permintaan Icha. Ia ingin merayakannya bersama orang-orang yang selama ini telah mendukung dan mewarnai hidupnya. Mengundang mereka semua tidak akan cukup jika bertempat di rumah kedua ayahnya yang selama ini mereka tempati. Maka ayahnya pun memberi ide supaya mereka semua diundang ke rumah utama.
Hari itu bertepatan dengan akhir pekan. Jadi semua orang bisa menghabiskan waktu di sana dengan bebas. Pagi itu halaman belakang sudah diramaikan oleh Mas Evan dan Mbak Zahra, ada Angga dan Mamanya, ada pula Kak Gea, Kak Fandy, dan Nora. Sebenarnya pesta kecil-kecilan itu diadakan seminggu setelah hari wisuda, karena menyesuaikan dengan jadwal kerja Kak Gea dan Kak Fandy, agar mereka yang jauh bisa datang.
Jangan tanya apakah Tante Venty dan Om Akbar datang atau tidak. Mereka tentu tidak akan datang. Bahkan Kak Gea, serta suami, dan adiknya itu pun pergi tanpa mengatakan jika mereka akan mendatangi rumah Icha. Mereka hanya meminta izin untuk berlibur akhir pekan di luar kota. Jika tantenya itu tahu, entah apa yang bisa terjadi.
Tak hanya mereka bertujuh, di halaman belakang itu juga ada Azhar. Kenapa ada Azhar? Apakah ia sekarang menjadi keluarga? Bukan! Ayah Icha menyarankan agar puterinya itu juga mengundang sahabat-sahabat terdekatnya. Maka, di sanalah mereka. Ada Azhar, Fitri, Andri, dan juga Putri! Sudah lama Icha tak berjumpa dengan perempuan itu lagi.
Awalnya Icha ragu Andri akan datang karena rumahnya yang jauh. Tapi rupanya ia menyanggupi, bahkan membawa Putri ikut serta. Icha senang sekali dibuatnya. Apalagi pagi itu Putri tampak manis sekali dengan dress dongker selututnya. Mungkin saat di rumah sakit ia terlihat lelah karena mengurusi neneknya yang sedang sakit.
Halaman belakang rumah Icha pun ramai. Ada yang membakar jagung, ada yang berinisiatif membuat rujak buah, dan ada juga yang menikmati makanan yang sudah disediakan. Icha memandangi mereka dengan amat bahagia dari gazebo. Ia amat bersyukur memiliki dan dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka.
"Kamu gak mau gabung?" Ayah Icha datang, membawa setoples snack jagung kesukaan anaknya itu. Icha tersenyum senang lalu meraih toples snack dari tangan ayahnya.
"Barusan juga gabung, kok. Abis ini ke sana lagi kalau rujaknya udah siap." Icha menampilkan cengiran.
"Kamu senang?" tanya ayah Icha saat sudah duduk bersama puterinya itu di gazebo.
"Senang." Icha tersenyum. "Makasih, Ayah, udah nurutin permintaanku, semua permintaanku, bahkan yang gak masuk akal sekalipun. Rasanya Ayah gak pernah sama sekali nolak permintaan Icha." Icha memandang ayahnya tulus.
"Kamu anak Ayah. Gimana Ayah bisa nolak permintaanmu? Sulit. Sesulit saat Ayah tahu kamu kabur dari rumah waktu itu," balas ayah Icha sembari mengelus kepala puterinya lembut.
"Maafin Icha, ya, Yah. Icha masih sering ngerepotin Ayah. Icha masih belum bisa bersikap dewasa kayak Mas Evan. Icha masih belum bisa kasih apa-apa buat Ayah." Ada setitik kecewa di hati Icha. Kecewa, pada dirinya sendiri. Beberapa hal yang terjadi belakangan disebabkan karena ulahnya juga.
"Asal kamu gak pergi-pergi lagi, Ayah udah bahagia. Bahagiaaa ... banget. Ini rumahmu, Nak. Tempatmu pulang di sini, bukan di tempat lain." Ucapan ayahnya itu membuat Icha tak tahan. Ia lalu memeluk ayahnya erat. Bagaimana bisa ia sempat melukai hati malaikatnya ini? Sementara ia yang masih sangat kekanak-kanakan itu tak pernah sekali pun membuat ayahnya marah. Ayahnya tak pernah bisa memarahinya.
"Aku sayang banget sama Ayah," ucap Icha tulus.
"Kamu gak perlu minta balasan Ayah, kan?" Dalam pelukan ayahnya Icha mengangguk.