“Yah, tumpah!” lantai kamar yang penuh remah cemilan kini dibasahi teh panas miliknya. “Aduh, bikin repot saja. Orang lagi santai,” sambungnya menggerutu karena kenikmatan menyantap film kesukaan terusik dengan drama tumpah air minum. Bukannya mengambil lap atau semacamnya, ia memilih mendiamkan. Tanpa merasa terganggu dengan keadaan kamar yang seperti itu.
Noda teh ia biarkan begitu saja. Seperti ada becek dalam kamar. Perlahan semut hitam mendekat. Sedikit demi sedikit dan langsung berkerumun di sekeliling tumpahan teh yang tidak diacuhkannya. Tidak peduli jam berapa, dirinya tak menujukkan tanda ingin istirahat. Keinginannya menjelajahi malam di dalam kamar masih membara. Beberapa bungkus cemilan sudah habis dan ditaruh begitu saja tanpa merasa bersalah. Toh ada Ibu yang nanti membereskan. Sebuah tindakan dan didukung oleh pola piker yang salah.
Aroma kamar ini sudah menyatu menjadi sebuah aroma paten. Bau yang bercampur dengan aroma keringat, makanan, dan debu. Sebuah satuan bau yang tak bisa didefinisikan dan membuat siapapun tak bisa tahan tinggal lama. Kecuali si pemilik kamar.
***
Sudah tiga kali bulan dan mentari berganti posisi, Idan masih enggan mendekapkan dirinya di kursi kampus. Padahal ia sudah membuat janji dengan Pak Fiqih – dosen yang bersedia meluangkan waktu untuk mengganti kelas Idan yang terlalu banyak bolong kemarin-kemarin. Pak Fiqih begitu memiliki hati yang besar ingin memberikan kelas untuk Idan seorang. Bisa dibilang privat, yang belum pernah didapatkan mahasiswa manapun di Universitas Negeri Makassar.
Semua orang di sekitar Idan mengetahui bagaimana tingkahnya. Pemuda yang sebenarnya memiliki usia cukup matang, namun terjebak di jiwa yang masih seperti anak baru masuk SMA. Tiga bulan lalu Idan merayakan usianya yang ke 25 dengan berlibur seminggu di Toraja, tanpa memerhatikan jadwal kuliahnya yang tak menyediakan libur sebanyak itu.
Berbicara tentang kuliah Idan, nilai tidak usah dibilang lagi. Hampir setiap semester ia harus menjalani pengulangan karena terlalu banyak nilai E yang didapatkannya. Di kampus ia tidak begitu terkenal, hanya segelintir orang yang tahu siapa dia, seperti teman sekelas, dan dosen yang mengajar. Tetapi siapa yang mengenal Idan, dia telah tahu luar dalamnya seperti apa.
Idan tidak seperti mahasiswa tua pemalas lain, yang selain cuek memikirkan kuliah, ikut menjadi preman kampus yang justru membuyarkan ketertiban, dan mengusik ketenangan hati junior-junior gundul yang terus jalan dengan menunduk. Idan tidak pernah mengusik siapapun, ia hanya merugikan dirinya sendiri, dan tidak pernah mengganggu orang lain. Namun, siapapun sok pahlawan ingin menasehati Idan tentang tingkah lakunya, kalau bukan dianggap angin lalu, orang itu akan mendapat ceramah balik dari Idan.
Walaupun Idan hanya merugikan diri sendiri, sebenarnya orangtuanyalah yang lebih harus dipikirkan. Orangtua Idan menghabiskan siang dan malam di usaha mebelnya yang memiliki omzet naik dan turun. Ditambah pikiran tentang anak bungsunya – Idan yang semakin besar semakin tidak menunjukkan sifat kedewasaan. Keenam kakaknya yang semuanya perempuan berhasil menjadi wanita, suami, dan Ibu yang baik untuk anak-anak mereka.
Kini tugas orangtua Idan, tinggal Idan seorang. Di usia mereka yang semakin menua, masih ada tugas terakhir untuk menjaga titipan Tuhan agar tak semakin jauh dari kedisiplinan. Untung masih ada Dian, kakak keenam Idan yang masih tinggal serumah dengannya. Dian yang telah memiliki seorang anak berusia 3 tahun ini, kadang menjadi tempat curahan hati adiknya. Dian pun selalu membantu Ibunya untuk membujuk Idan kalau lagi-lagi ia tidak pernah mengindahkan kata-kata orangtuanya. Keluarga Idan memang tidak kaya raya, tapi yang patut disyukuri adalah mereka tak pernah merasa kurang atas apa yang dibutuhkan tiap hari. Termasuk semua keinginan Idan ke orangtuanya yang selalu bisa diwujudkan, terpaksa maupun tidak.