Tubuh Idan rasanya sangat berat untuk meninggalkan kamar. Ia harus sepagi ini melawan diri sendiri dan segera ke kampus. Satu jam lagi, kelasnya akan mulai. Kelas yang diisi bukan lagi dengan teman seangkatannya, melainkan junior yang hampir semuanya tak ia kenal. Idan hanya mengikuti kelas setelah itu langsung meninggalkan kampus. Ia tak ingin berlama-lama di sana, di tempat yang menurut Idan memberi tekanan berbeda hingga membuatnya kurang nyaman.
Idan menghambiskan hampir tujuh tahun di jurusan akuntansi. Jurusan yang tentu saja sangat tidak cocok untuk seseorang sepertinya. Masuk di jurusan yang sekarang menurut Idan adalah keputusan yang paling salah yang ia ambil. Bukan salah pilih jurusannya, melainkan ia salah telah mengikuti keinginan orangtua dan membuatnya sengsara hampir tujuh tahun lamanya. Setelah menjalani kuliah, Idan berpikir kembali untuk mau menuruti saran lain orangtuanya. Kini ia lebih percaya dengan dirinya sendiri setidak bagus apapun pilihannya. Jika ia salah pilih, paling tidak ia cukup marah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain.
Koridor kampus terasa begitu sepi, padahal ada banyak mahasiswa yang sedang asyik nongkrong menunggu jam kuliah dimulai. Tak ada yang Idan sapa bahkan menuju kelas bersama. Idan berjalan menelusurinya tanpa melihat kemanapun. Ia punya satu tujuan, kelas yang berada di ujung koridor ini. Penampilannya ke kampus sempat membuat beberapa mahasiswa melihatnya begitu lama. Ia terlihat begitu santai, cenderung tidak sopan. Hanya memakai kaos oblong hitam dengan rambut gondrong yang tak sempurna disisir. Namun Idan tak menghiraukan hal itu.
Di dalam kelas, Idan selalu memilih bangku paling belakang. Duduk di depan membuatnya terlalu dekat dengan dosen. Tak ia suka, sebab Idan tidak mau dijadikan pembahasan dosen tentang contoh jelek mahasiswa yang lulus lama. Idan juga tak suka duduk di tengah, berbaur dengan junior-junior kutu buku yang begitu semangat untuk belajar, atau begitu semangat mencari muka dosen agar mendapat nilai A. Ia lebih senang di sini, di tempatnya sekarang, hanya fokus melihat dosen, sesekali menguap karena bosan, mengamati gerak-gerik mahasiswa yang kadang menganggu, dan berharap kelas ini cepat selesai.
Selepas kuliah, seperti rencana awal, Idan langsung pergi menjauh dari kampusnya. Hanya satu kelas hari ini. Sebenarnya Idan masih punya waktu mengurus kembali kelas Pak Fiqih. Kelas Pak Fiqih yang telah ia atur jauh hari sudah menghilang ditelan waktu. Ia tidak peduli, atau lebih tepatnya tidak mau ambil repot mengejar Pak Fiqih untuk membicarakan kembali kelas privat spesial yang sengaja ia tinggalkan.
Kamu sudah dimana, Dan? Seseorang bertanya melalui telepon. Terdengar seperti suaranya laki-laki.
“Aku mungkin telat 15 menit. Di jalan macet, Bro,” jawab Idan melalui ponsel lipat yang Idan tempelkan di telinga kiri dan dihimpitkan di sela helm. Kini ia sudah berada di atas sepeda motor matic silver-nya – menelusuri jalan di Makassar yang memang selalu macet di waktu senja.
Idan memilih arah yang lain. Bukan arah pulang. Ia menuju jalan memasuki pusat kota Makassar, mendekat ke arah pantai, dan bertemu gerombolan kendaraan beserta asap knalpot yang menutupi jalan raya. Idan meninggikan leher dan membuka kaca helem – menatap sepanjang apa kemacetan di depannya. Teriknya mentari masih terasa, padahal sudah sore. Tidak ada angin yang membantu menghalau panas, hingga pelu selalu datang menganggunya.