Bukan Salah Ibu

Hardy Zhu
Chapter #3

KEPUTUSAN YANG TELAH IA AMBIL

Insiden Idan menabrak seorang ibu dan bayinya memberi beban baru bagi orangtuanya. Butuh jutaan rupiah untuk memperbaiki kerusakan motor Ibu itu, ditambah lagi perbaikan motor Idan sendiri. Dana tersebut terpaksa orangtua Idan keluarkan daripada anaknya terlibat masalah yang lebih rumit lagi. Dana yang sebenarnya ingin dipakai orangtuanya untuk membiayai programer yang mempermudah pemasaran toko mebel melalui jalur online. Sebab toko lagi sepi-sepinya. Dengan adanya peristiwa ini, orangtua Idan semakin memikirkan banyak hal untuk tetap mempertahankan toko.

Idan tetap bersalah, tapi yang lebih salah darinya, tak terdengar permintaan maaf Idan ke orangtuanya. Karena lagi-lagi kembali menyusahkan. Kini body motor Idan kembali baru, semua karena orangtuanya. Jika memang maaf terlalu berat, cukup ucapkan terima kasih saja. Namun Idan terlalu gengsi mengucapkannya. Sayangnya gengsi yang diletakkan di posisi yang salah, akan membuat orang lain mengartikan salah tindakan kita. Seperti orangtua Idan yang kecewa dengannya, sekali lagi.

“Apa sih kalian! Pas aku butuh pada menghilang,” protes Idan yang akhirnya berhasil mewujudkan rencana nongkrong bersama Farid dan Adian yang telah tertunda kemarin. Farid dan Adian adalah teman kampus Idan yang telah lebih sukses dibanding dirinya. Farid bekerja di salah satu bank swasta di Makassar, dan Adian sukses dengan lembaga bimbingan belajar yang ia tekuni bersama rekan-rekannya yang lain. Walaupun keduanya lebih duluan menemukan karir yang pas buat mereka, Farid dan Adian tidak pernah melupakan Idan yang belum jadi apa-apa. Meskipun mereka lebih sering menghilang di saat Idan sangat membutuhkan bantuan.

“Maaf, Dan. Hapeku lobet kemarin. Kamu juga lama datangnya,” kilah Adian.

“Halah alasan. Kalau kamu, Rid? Sama lobet juga?” serang Idan

Farid mengangguk tanpa bersuara dengan mimik menunggu reaksi Idan berikutnya.

“Hah, sudahlah. Sebagai gantinya makanku ini kalian yang bayar ya,” tambah Idan menunjuk sepiring mi pangsit goreng yang sudah setengah kosong.

“Yah, jangan gitu dong. Kok maksa sih.” Farid tidak terima

“Iya, Dan. Sekarang kan tanggal tua.” Adian tak mau kalah ikut membela diri.

“Iya, iya. Aku cuma bercanda. Aku kayak baru kenal kalian dua hari saja. Aku sudah tahu kalian tidak bakal mau. Mau tanggal tua, muda, atau setengah matang,” ucap Idan dengan mata melotot. Kedua kawannya ini meskipun setia, terkenal pelit jika berbicara tentang materi. “Sudah ah, bahas yang lain saja. Aku gerah nih di rumah terus. Ada usul tidak, mau kemana kita bagusnya?”

“Aku belum bisa ambil cuti nih dalam waktu dekat, paling November baru bisa. Soalnya bulan kemarin aku sudah ambil beberapa hari. Kalau kamu, Adian?” tanya balik Farid.

“Bagaimana ya, sepertinya dalam waktu dekat ini memang aku juga tidak bisa. Ada program pendidikan karantina siswa-siswaku Maret bulan depan, tinggal dua minggu dari sekarang lagi.” Adian meyakinkan jika tak ada satupun yang bisa.

“Apa sih kalian, pada tidak asyik kayak gini. Aku kayak mau gila rasanya di rumah terus, habis itu ke kampus, rumah kampus rumah kampus. Rasanya pengen lari dari rumah, pergi jauh gitu. Bebas!”

“Ya, kalau mau ikutin jadwal kita, susah, Idan. Coba cari deh kawanmu yang lain. Pasti ada kok.” Farid tidak tahu harus merespon apa ucapan Idan barusan dan akhirnya mencoba mencari solusi lain untuknya. Padahal dalam hati, ia ingin sekali memberitahu Idan, kalau sebaiknya dia pikir untuk menyelesaikan kuliahnya dulu. Dia terlalu ingin sekali bebas, padahal keinginannya tersebut semakin memperpuruk dirinya.

“Tunggu dulu.” Idan memikirkan sesuatu. “Ada Iksan sih. Aku kontek dia saja ya. Kebetulan aku belum pernah ke Sulawesi Tengah, khususnya di Palu. Penasaran di sana seperti apa. Dia masih tugas di sana kan?” Idan mengingat satu teman kuliah mereka yang bekerja di perusahaan BUMN dan ditempatkan di kota Palu.

“Aku masih sempat chatingan sama dia sih minggu lalu. Iya, Iksan masih di Palu.

Kamu yakin mau ke sana?” Adian meyakinkan.

Idan menjetikkan jari. “Nah mantap kalau gitu. Nanti aku mau ngobrol-ngobrol dulu sama dia. Kalau oke, baru deh pesan tiket.”

“Tapi kuliahmu bagaimana, Dan?” Farid akhirnya tak tahan dan menyinggung hal tersebut.

Lihat selengkapnya