Bukan Salah Ibu

Hardy Zhu
Chapter #4

HANYA INGIN SENDIRI

Uang jajan yang disimpan Idan cukup untuk tiket pesawat pulang pergi Makassar – Palu ditambah uang makan selama di sana. Rencananya, Idan hanya semingguan lebih. Hanya ingin jalan-jalan menikmati kota yang belum pernah dijamahnya dan meninggalkan segala hal yang ada di Makassar, seperti keseharian yang membuatnya bosan. Hal yang orangtua Idan tidak setujui karena Idan pergi terlalu lama dan pihak kampus sudah memberi lampu peringatan kepada Idan jika masih saja tidak hadir, akan dikeluarkan surat drop out. Sebab mahasiswa seperti Idan akan menurunkan tingkat akreditasi jurusan dan merugikan mahasiwa yang lain.

Tetapi dia tidak memerdulikannya. Ia lebih memilih pergi dari rumah seorang diri, toh hanya sebentar. Seminggu tidak masuk kampus menurutnya adalah hal yang masih bisa ditolerir, cukup memberikan alasan bahwa ada keluarga yang meninggal di Palu dan semua pihak kampus akan memaklumi.

Idan mengemasi barangnya di dalam tas ransel yang cukup besar. Ia memilih pesawat keberangkatan malam, karena saat lewat petang hari, rumah menjadi sepi. Ibu istirahat di kamar, begitupun dengan Dian. Ayah juga belum pulang hingga jam 10 malam nanti. Jadi waktu yang tepat untuk meninggalkan rumah. Terlebih lagi kamar Idan berada paling dekat dengan pintu masuk rumah. Sehingga memudahkannya untuk keluar secepat kilat.

Dengan memesan taksi online, Idan pun meninggalkan rumah tanpa disadari oleh siapapun. Perasaannya juga berdebar-debar, tapi lebih banyak leganya. Akhirnya ia bisa bebas untuk sementara waktu. Jika pulang nanti dia akan dimarahi, ia cukup membela diri bahwa ini konsekuensi karena dirinya tidak diperbolehkan pergi berlibur di Palu. Idan mengetahui kelemahan orangtuanya, orangtuanya tidak mau berdebat dengan anaknya meskipun Idan tahu ia salah. Itu membuat Idan selalu merasa menang dan tidak takut jika dimarahi orangtuanya.

Sesampainya di bandara Sultan Hasanuddin, Idan tidak mau menunggu lama dan langsung check in lalu menuju di gate keberangkatan. Dirinya seperti dikejar sesuatu. Mungkin karena ia sempat khawatir jika orang rumah segera tahu kepergiannya dan

menyusulnya ke bandara. Idan duduk di kursi gate yang tidak terlalu ramai. Dadanya kembang kempis karena berjalan sangat cepat dari tadi.

Karena tidak ingin membuat orang rumah khawatir, Idan mengirim pesan kepada kakaknya. Ia tidak mau dikira hilang atau diculik hingga orangtuanya lapor polisi padahal anaknya cuma pergi berlibur. Ia mengirim pesan bahwa ia pergi ke Palu cuma seminggu, ia tidak ingin diganggu jadi nomornya yang sekarang dinonaktifkan dan diganti nomor baru yang tidak diberitahuan siapa-siapa. Semua sosial medianya pun untuk sementara di-non aktifkan agar tidak ada seorang pun yang menganggunya. Idan hanya ingin sendiri.

Begitu pesan Idan lima menit sebelum pesawatnya lepas landas. Idan meninggalkan semuanya di Makassar, meninggalkan karir dan kehidupannya bahkan meninggalkan keluarganya untuk sementara.

***

Dengan menempuh perjalanan udara kurang lebih satu jam, Idan telah sampai di Kota Palu – Sulawesi Tengah. Nomor sim HP ia simpan di dalam dompet agar tidak hilang jika ingin dipakai lagi. Di bandara Sis Al Jufri – Palu, Idan menunggu di pintu utama bandara menunggu Iksan, sobat lamanya yang akhirnya bertemu. Tidak menunggu waktu lama, Idan langsung mengenalinya. Pemuda seumuran Idan yang menurut Idan kini terlihat lebih bersih dan tampan, mungkin karena sekarang karirnya sudah bagus. Iksan sudah mulai bisa merawat diri. Tidak sama ketika di kampus, kulitnya gelap dan bau badannya tidak sedap.

Saat kakinya benar-benar telah menginjak daratan Palu, pandangan Idan tertuju pada satu sudut di luar bandara. Sudut yang sangat jauh dan memerlihatkan kerlap-kerlip lampu kota yang mulai terlihat. Idan mulai berpikir kalau bandara di Palu ini berada di dataran tinggi sehingga sebagian lampu kota dapat terlihat jelas dari sini.

“Tidak. Itu rumah di atas gunung. Kenapa?” Iksan memperjelas

Idan terdiam sejenak. Di Makassar tidak ada yang seperti itu. Ia seperti melihat bintang-bintang turun ke bumi dan tetap bersinar terang. “Oh ya? Maaf, aku kira justru kita yang ada di atas gunung. Bagus. Aku suka.”

“Palu ini di kelilingi pengunungan, Idan. Berbentuk lembah dan pengunungannya seperti benteng yang melindungi seluruh kota. Besok pagi coba kamu lihat, gunungnya

kelihatan jelas kok di pusat kota nanti. Terus rumah-rumah yang ada di atas gunung itu memang terlihat jelas dari sini, apalagi kalau malam.”

Pandangan Idan masih tertuju pada bintang-bintang di atas gunung itu. Senyumnya terkembang dari tadi. Idan akhirnya sampai di kota yang membuat dirinya tidak menyesal pergi sejauh ini. Ia tidak banyak berkomentar dulu, hanya menikmati sebagian kecil suasana malam Palu yang memang berbeda dari kota kelahirannya.

***

Khusus untuk Idan – sahabatnya, Iksan ternyata mengambil jatah cuti. Ia ingin menemani sahabatnya menikmati indahnya kota Palu sambil istirahat bekerja. Semalam tadi Iksan mengantar Idan ke homestay yang sudah ia carikan untuk Idan sebelum Idan sampai ke Palu. Homestay yang tidak begitu dekat dari rumahnya sebab, homestay tempat Idan sekarang tempatnya nyaman dan harganya terjangkau, meskipun agak jauh dari pusat kota Palu. Dengan durasi menginap sekitar seminggu, estimasi biaya dengan uang pegangan di rekening Idan, cukuplah.

Di dalam hati Iksan sebenarnya ingin memberinya tumpangan di mess tempatnya tinggal sekarang. Tetapi mess-nya sekarang sudah terlalu banyak penghuni, dan tidak ada tempat tidur untuk Idan lagi kecuali Idan mau tidur tanpa alas apapun di ruang keluarga. Idan pun tidak ingin liburannya kacau di saat selesai berletih-letih ria berkeliling, sesampainya di tempat istirahat, tidak bisa merebahkan badan dengan sempurna karena tempatnya tidak begitu nyaman. Lagi pula, sisa uang jajan Idan cukup untuk menghidupinya seminggu di sini.

Lihat selengkapnya