Idan terbaring kaku di homestay. Pikirannya kacau. Sebentar lagi sewa homestay akan berakhir, dan dia tidak punya apa-apa untuk memperpanjangnya. HP dan dompetnya sudah tidak ada. Idan juga tidak bisa mengurus ATM-nya di bank terdekat, KTP-nya ikut raib, terlebih buku tabungan tidak dibawa ke Palu. Idan benar-benar hanya bisa terdiam sekarang. Nasibnya entah bagaimana. Ingin pulang tapi tak akan bisa. Tidak ada siapapun yang dikenal. Nomor Nana ada di HP-nya juga. Berharap orang rumah menelepon, tidak mungkin. Idan mengganti nomornya agar liburannya tidak diganggu. Jadilah sekarang, Idan tidak akan pernah diganggu lagi oleh siapapun yang dikenalnya.
Namun ia tidak bisa tinggal diam. Waktu terus berjalan. Jika uang sewa homestay telah habis besok malam, kemana Idan harus tinggal. Di jalanan? Panik pun melandanya. Pikirannya tidak sampai ke sana kalau ia harus hidup di jalanan, di kota orang!
“Berpikir, Idan! Berpikir!” serunya pada diri sendiri. Tapi ia sulit lakukan. Panik terlalu memenuhi kepalanya, ditambah waktu yang semakin menipis. Dimana ia harus mendapatkan uang untuk tiket pulang? Ia tidak mungkin mendapat pinjaman dari siapa-siapa, sebab tak ada yang dikenalnya. Idan pun kepikiran sesuatu. Ia merogoh tasnya. Ada banyak beberapa baju dan celana yang ia beli dengan harga yang lumayan mahal. Tapi sayangnya, meskipun ia menjual seluruh baju dan celana yang ia punya, dananya tetap tidak cukup untuk membeli tiket pulang.
“Ah sial!”
Setelah itu, Idan berpikir hal lain, ia bisa menjual baju ini sebagai pegangan untuknya. Semisal untuk makan, syukur jika dapat tempat tinggal sementara selama beberapa minggu. Tapi dimana Idan harus menjual baju-baju ini? pikirannya kembali terputar dan ia teringat satu-satunya orang ya ia kenal sekarang. Penjual nasi kuning tadi. Semoga ia bisa menolong, sebab orang itu yang tahu musibah yang ditimpa Idan sekarang. Hanya itu harapan Idan satu-satunya.
Dengan memakai langkah seribu, Idan melaju ke sana. Tempat nasi kuning yang sederhana namun ramai pengunjung. Pedagangnya ada dua orang, dua-duanya laki-laki. Satu
sebagai pelayan, satunya lagi sebagai kasir. Keduanya pun tahu Idan yang telah tertimpa musibah. Wajah Idan muncul di dalam warung. Disambut mimik ikut prihatin oleh pemuda berkulit hitam dengan rambut hampir gundul yang duduk di meja kasir.
“Mas, saya mau nanya.” Idan mendekat. Karena pelanggan semuanya sudah mendapat pesanan, pemuda yang satunya mendekat ke Idan. Pemuda yang sama berkulit gelap, namun terlihat lebih muda di banding pria yang di kasir. “Mas tahu nda dimana bisa jual baju-baju bekas? Bukan bekas sebenarnya. Tapi memang bekas, tapi bekasnya masih sangat bagus untuk dipakai. Saya mau jual baju-baju saya untuk pegangan selama di sini.” Idan mulai kacau menyusun kata-katanya.
“Dimana ya? Dimana, Sarip?” pemuda di kasir menunjuk rekan kerjanya yang dipanggil dengan nama Sarip. Idan mulai was-was karena cuma mereka harapan satu-satunya. Tak ada lagi yang dikenalnya.
Sarip lama berpikir, membuat Idan semakin tak tenang menunggu kepastian yang belum tentu pasti. “Ada tempat di pasar Kawatuna. Tapi tidak tahu di sana terima jual baju bekas atau tidak. Tapi sepertinya kalau memang barangnya bagus, kemungkinan pedagang di sana mau beli.”
Ada sedikit rasa lega di dada Idan. “Serius, mas? Saya bisa minta tolong diantarkan ke sana? Saya kasih sedikit deh hasilnya ke mas kalau laku. Sebagai bentuk balas jasa saya sudah diantar,” pinta Idan terburu-buru.
“Bo.. boleh deh kalau begitu. Mas siapkan saja baju-bajunya.” Sarip pun ikut menjawab terburu-buru.
Untung Idan bertemu dengan kedua pemuda ini. Sarip dan satunya bernama Malik setelah berkenalan. Karena mengerti dengan kondisi Idan yang sedang kesusahan, Malik pun dengan ikhlas membiarkan Sarip menemani Idan dulu menjual baju-bajunya di pasar Kawatuna. Pasar yang memang surganya para pembeli pakaian second dengan harga yang miring. Dengan mengendarai motor butut bersuara knalpot yang kasar, Idan dan Sarip pun melaju menuju ke sana.
Matahari Palu lagi terik-teriknya. Cukup menyilaukan pandangan apalagi lokasi pasar Kawatuna berada menjauhi garis pantai sehingga angin laut semakin sedikit terasa. Keringat pun mulai bercucuran karena jarak yang ditempuh tidak sedekat perkiraan. Belum lagi harus
melewati jalanan yang setengah jadi dengan debu yang bertebaran kemana-mana. Hanya satu yang ada di benak Idan, mimpi apa dia semalam hingga bernasib seperti sekarang.
“Terima kasih ya mas Sarip sudah membantu saya,” kata Idan menutup mulut menghalau debu di atas motor.