Meskipun nasib buruk sedang menimpa Idan sekarang, untunglah pertolongan tetap ada biar sekecil apapun. Kini Idan sudah tidak sendiri lagi. Ada Sarip dan Malik. Nanti malam waktu sewa homestay-nya telah berakhir. Tapi Idan masih belum menemukan tempat tinggal dengan uang yang dia punya sekarang. Idan punya uang 200rb tidak mungkin ia habiskan untuk mencari tempat bernaung, ia harus menyisakannya untuk membeli makanan, sembari mencari cara untuk dapat uang lagi.
Setelah dipertimbangkan dengan berbagai cara, Idan sulit untuk mendapatkan kos dengan dana yang ada di tangannya. Idan harus bekerja, mencari tambahan penghasilan, bukan hanya untuk mencari tempat tinggal, tapi untuknya makan. Mencari cara untuk pulang ia kesampingkan, karena yang paling penting saat ini adalah bagaimana ia bisa bertahan hidup dengan uang yang sangat sedikit ia punya.
Idan punya satu ide, sekali lagi akan merepotkan kedua teman barunya ini. Idan harus mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan sesuai pendidikannya tidak mungkin ia dapatkan, ia tidak membawa ijazah SMA-nya terlebih lagi ia tidak mempunyai tanda pengenal lagi. Kini Idan setara dengan gelandangan yang butuh pekerjaan apapun yang jelas halal. Dengan berharap belas kasihan sekali lagi, Idan meminta untuk dipekerjakan di warung nasi kuning milik Sarip dan Malik.
“Coba nanti kita bawa dia ke Bu Marni,” usul Malik saat duduk berhadapan dengan Sarip dan Idan di saat warung sudah sepi.
“Siapa Bu Marni?”
“Dia yang punya warung ini. Kita berdua ini cuma pegawai. Tempat tinggal pun kita numpang sama beliau.” Penjelasan Malik barusan berhasil menghadirkan harapan besar pada diri Idan.
“Bisa bawa aku ke Bu Marni? Siapa tahu dia butuh satu pegawai lagi. Apalagi aku lihat kalau pagi dan siang di sini ramai sekali.”
Malik dan Sarip saling tatap. Antara khawatir atau tidak percaya dengan Idan. “Kamu serius Idan mau bekerja di sini? Kita gajinya sangat kecil. Hanya bisa beli makanan sehari-hari saja.” Sarip bersuara.
“Berapa upah kalian kalau aku boleh tahu?”
“Kita digaji perhari. Perhari 30rb. Kalau ramai bisa sampai 50 atau 60rb,” sambung
Sarip.
Idan menelan air liur. Upah mereka terbilang kecil padahal satu porsi nasi kuning di sini sekitar 10rb sampai 15rb. Dan pelanggan perhari diperkirakan mencapai 30 orang. Jadi total omzet perhari untuk warung ini bisa mencapai 500rb. Lalu Malik dan Sarip hanya dibayar 30rb?
“Itu kecil sekali, Sarip.” Idan terkejut. Semakin khawatir dia.
“Mau bagaimana lagi. Kita berdua hanya perantau. Cuma bisa bekerja seperti ini. Aku pikir juga wajar, karena Bu Marni punya satu anak yang masih sekolah. Sedangkan suami Bu Marni hanya pekerja kebun yang kalau ada uang, ada banyak. Tapi kalau lagi kurang, hampir sama sekali tidak ada. Tapi setahuku sekarang Bu Marni sudah ada usaha baru. Buat catering-an untuk makan siang pegawai kantoran,” jelas Malik menyalakan korek api dan membakar ujung rokok yang segera ia hisap.
“Kamu jadi mau pulang, Malik?” tanya Sarip.