Bukan Salah Ibu

Hardy Zhu
Chapter #8

TINDAKAN BODOH

Malam pun tiba. Sarip telah tidur dari tadi. Ia kini ada di samping Idan, tidur tengkurap dengan beralaskan lantai yang dihalangi sarungnya. Ia terlihat sangat nyenyak. Berbeda dengan Idan yang masih belum terbiasa. Debu kapuk ini menghalangi napas Idan sehingga kadang membuatnya terbatuk. Kelambu yang dipasang untuk menghalau nyamuk malah menjadikan suhu semakin panas. Idan tidak bisa tidur. Pikirannya kini melayang. Kapan ia bisa pulang?

Apa aku kualat ya sama orangtua jadi ditimpa nasib seperti ini? mau pulang tapi tidak bisa. Katanya membatin. Dompet hilang, hp hilang. Kalau tidak ada Sarip, mungkin dia sudah jadi anak jalanan sekarang. Bagus tidak diculik dan dijadikan pengemis. Lantas apa yang Idan lakukan sekarang? ia tidak mau menerima nasib begitu saja dengan menjadi pelayan warung nasi kuning, dan hidup di tempat seperti ini. Idan memang prihatin, tapi jika ingin ikut menikmati dalam waktu yang lama, ia lebih pilih mati suri.

Idan menghitung dalam kepala. Jika gajinya perhari adalah 30rb. Berapa lama ia harus menabung untuk bisa membeli tiket pulang? naik pesawat tidak mungkin, ktp Idan sudah lenyap! Jalur satu-satunya adalah melalui darat dengan bus. Pastinya lebih murah dan membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk menabung. Tarif bus ke Makassar perkiraan Idan yang tertinggi adalah 300rb, jadi kalau semuanya lancar, Idan harus menabung sebanyak 10 hari baru bisa pulang.

Hah? 10 hari aku harus hidup seperti ini? sial! itupun kalau tabunganku lancar. Semoga tidak ada kebutuhan macam-macam yang mendadak hingga bisa menguras tabunganku. Pikirannya semakin tak karuan.

***

“Idan, Bangun!” seru Sarip.

“Aduh, aku masih ngantuk,” balasnya dengan suara malas.

“Idan, kita harus bantu Bu Marni bawa beberapa panci besar untuk dibawa ke warung.” Kini Sarip membisik, takut Bu Marni tahu kalau Idan belum juga bangun.

“Panci apa.” Idan masih belum siuman sepenuhnya. Ia mulai membuka mata dan mendapati diri masih terperangkap di dalam kelambu usang. Ia cepat bangun terduduk dan mengucek mata. “Cepat sekali bangunnya, Sarip. Jam berapa ini?”

“Sudah hampir jam 6, Idan. Kita harus segera ke warung. Nanti pembeli pada datang nah kita masih tutup.”

“Aduh, masih pagi sekali, Rip. Tidak minum teh hangat dulu?” Idan masih bersuara

malas.

Lihat selengkapnya