Bukan Salah Ibu

Hardy Zhu
Chapter #9

10 HARI SAJA

Idan mengantar pesanan pembeli di tiap meja, sedangkan Sarip duduk dibangku kasir

– sebagai penerima pesanan sekaligus membuat pesanan tiap pelanggan yang datang. Jika sedang banyak orderan, Idan yang duduk di bangku kasir dan menerima pesanan, mereka saling support dan bergantian tergantung situasi. Meja hampir penuh, dan semua pembeli telah lahap memakan pesanan masing-masing.

Idan menjatuhkan diri di kursi samping Sarip dan di belakang meja kasir. Tubuhnya kelelahan. Keringatnya berjatuhan. Napasnya ngos-ngosan.

“Capek juga ya, Rip,” ujarnya sambil mengipas lehernya yang basah karena keringat. Idan menatap jam, masih jam 10 pagi, tapi ia merasa sudah bekerja seharian. Perutnya tiba-tiba berbunyi. Ia lapar, tapi kata Sarip, setelah pembeli makan siang, baru mereka bisa makan. Mereka mendapat satu porsi jatah untuk makan siang. Itupun lauk yang diambil jangan terlalu banyak karena lebih diutamakan untuk diberikan kepada pelanggan.

“Kamu semangat, dong. Ini juga belum setengah hari.”

“Iya, iya. Apa keringatku kurang banyak ya biar bisa dikatakan semangat?” sekali lagi Idan menatap jam dinding yang terpajang di dekat pintu masuk. Pikirannya kembali ke kehidupannya yang kemarin. Jam segini kalau hari libur, Idan baru saja siuman dan menyalakan TV di ranjangnya yang empuk sambil menunggu diri untuk bangun. Kalau lagi tidak mau, ya Idan bisa berbaring tanpa melakukan apapun sampai makan siang.

Ah! Tapi Idan yakin bisa. Kurang lebih 10 hari saja seperti ini dan ia bisa pulang, meninggalkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan dan kembali ke istananya.

“Hei, Idan!” Sarip memanggil cukup lantang padahal mereka cuma bersebelahan.

“Apa sih Sarip. Panggilnya pelan-pelan saja!” Idan melawan.

“Dari tadi juga pelan, tapi kamunya melamun terus. Tolong cucikan piring dong. Itu pelanggan sudah pada selesai, tapi lihat antrianku. Banyak! terus piring bersih tinggal sedikit.”

Idan terkejut, berapa lama sebenarnya ia melamun? Sampai-sampai pelanggan baru yang ingin makan siang sudah mulai berdatangan dan menunggu giliran. Namun rasa keterkejutan Idan semakin ditambah dengan seruan Sarip yang luar bisa baginya. Idan mencuci piring terakhir sekitar beberapa tahun yang lalu, bahkan Idan sudah tidak ingat sama sekali. Tapi sekarang ia harus menyentuh piring kotor, sisa makanan pelanggan yang berasal dari berbagai macam mulut, dan membersihkannya hingga tak ada noda tersisa.

“Idan, ayo cepat. Nanti pelanggan protes kalau pesanannya lama datang.” Sarip membisik.

Idan memang selama di Palu sangat sering melamun. “Iya, Rip. Ini aku ke belakang.” Kakinya dilangkahkan cepat menuju meja pelanggan yang telah selesai. Menyusun piring satu demi satu dan membawanya sekaligus. Ia hati-hati berjalan takut tersandung sesuatu dan membuat sensasi dengan memecahkan semua piring-piring ini.

Tempat cuci piring sederhana yang ada di ruangan belakang. Tidak ada kursi. Tempat cuci rata dengan lantai, hingga Idan harus berjongkok untuk mengeksekusinya. Ada selang dengan panjang 1 meter yang membantunya mendapatkan air mengalir. Di sampingnya ada sekitar 10 piring dan 10 sendok yang menjadi tugasnya. Idan mengisi baskom dengan air bersih dan sekarang apa lagi yang ia harus lakukan?

Lihat selengkapnya