Sudah hampir petang, warung Bu Marni sebentar lagi tutup. Sekitar dua jam yang lalu juga tempat ini sudah sepi. Memang jam buka warung Marni tidak sampai malam. Orang-orang tidak begitu minat lagi makan nasi kuning di malam hari. Idan dan Sarip mulai membereskan segala sesuatunya. Meskipun mereka masih tak saling bicara. Idan masih mengurus piring. Semuanya telah bersih dan siap dibawa kembali ke atas gerobak. Sedangkan Sarip membereskan sisa makanan yang tidak habis hari ini.
Sarip memeriksa nasi yang lumayan masih banyak. Aromanya masih tercium tajam. Membuat perhatian Idan tiba-tiba menuju ke arahnya. Sarip menoleh ke Idan tidak sengaja melihatnya menelan air liur menatap nasi kuning yang masih terang benderang dari kejauhan.
“Sini kamu makan lagi kalau mau.” Sarip tertawa kecil melihat gaya Idan yang kepalaran.
Idan menggeleng. “Tidak usah.” Ia melanjutkan menyusun piring dengan muka datar.
“Hmm oke deh, kalau begitu aku makan sendiri saja.” Sarip mengambil piring dan mulai menuangkan sisa nasi kuning ke piringnya.
“Yee aku juga mau!” Idan berlari cepat. Tawanya tak bisa ia tahan dan ikut mengambil bagian. “Aduh, aku masih lapar Sarip, serius. Tadi makan siang kita cuma sedikit ya.”
“Memang begitu, Idan. Makan siang kita batasi dulu, biar buat pelanggan. Ya kalau jam pulang begini ada sisa ya langsung kita sikat. Tapi jangan semua ya,” balas Sarip memulai makan duluan. Akhirnya mereka kembali berbicara satu sama lain karena persamaan kondisi perut masing-masing.
“Jadi bagaimana kalau nasinya dibeli sampai habis?”
“Itu jarang sekali kejadian sebenarnya. Paling sisanya tinggal sedikit. Tidak sampai habis. Ya kalau habis kita senang dong, artinya laku. Tapi itu, siap tahan lapar sampai nanti malam.”
Mereka kembali menikmati porsi masing-masing dengan lahapnya. Apalagi Idan yang makan dengan cepat karena saking laparnya. Tidak ada lagi lauk, hanya nasi kuning polos yang ia makan, dan membuatnya lahap seperti itu. Memang benar seperti orang bilang, makanan sesederhana apapun kalau memang lapar, disikat juga.
*
Pada malam hari, Idan hanya berbaring terus di ranjangnya. Sambil menonton tv kecil yang memang terpajang di ruangan tempatnya. Ada Umi yang nonton bersamanya, sedang lahap memakan nasi kuning yang dibawa pulang Sarip dan Idan. Bu Marni sedang bersantai di kamar, kalau Sarip entah kemana. Ia menghilang tiba-tiba dan Idan malas untuk mencari. Seluruh tulangnya seperti retak karena lelah.
“Nah itu dia,” celetuk Idan melihat Sarip yang muncul dari balik tirai ruang belakang. Sarip langsung ikut merapat di samping Idan, sambil memberikan beberapa lembar uang. Alias bayaran untuk hari ini. Beberapa uang lima ribu dan sepuluh ribu didapatkan Idan. Upah pertama yang ia dapatkan. Di pekerjaan pertamanya. “Terima kasih ya, Rip.” Ucapnya tiba-tiba suasana menjadi sendu.
Idan mendapat bayaran Rp 40.000 hari ini. Uang yang ia dapatkan susah payah. Harus berlelah diri dan mendapat cacian dari orang asing. Ia menghitung kembali uang yang dipegangnya berharap jumlahnya bisa bertambah. Namun Idan harus membuka mata. Dulu uang segitu terbilang receh, namun kini yang di tangannya adalah uang banyak yang ia punya. Ia harus simpan untuk membeli tiket pulang.
***
Beberapa hari telah berlalu, ada yang aneh warung Bu Marni. Pelanggan yang datang semakin hari semakin sepi. Hanya di pagi hari pelanggan datang beberapa orang, setelah itu jam makan siang, dan tidak ada lagi penambahan. Nasi kuning tiga hari ini tersisa sangat banyak. Pemasukan pun sangat minim. Bu Marni ikut keheranan melihat penurunan yang terjadi warungnya.
Apa karena minat orang dengan nasi kuning sudah hilang? Tapi itu tidak mungkin sebanyak apapun model makanan baru yang muncul, nasi kuning tidak pernah menghilang ditelan waktu. Selalu ada peminat di semua kalangan. Bu Marni meminta tolong kepada Idan dan Sarip untuk mengamati daerah sekitar, apakah ada warung yang serupa dengan miliknya
atau tidak. Tapi tetap tidak ada. Di sepanjang jalan tempat warung Bu Marni berada, hanya warungnyalah yang menjual nasi kuning.