Bukan Salah Waktu

Bentang Pustaka
Chapter #3

Satu (1)

Sekar meringkuk dalam celah selebar 60 sentimeter itu. Tubuhnya gemetar. Kedua kakinya terlipat rapat di depan dada. Tangannya memeluk erat kedua kakinya. Suara riuh masih terdengar dari ruangan yang hanya dibatasi dinding dengan sebuah pintu dari tempatnya bersembunyi sekarang. Sekar menanti suara-suara itu hilang, caci maki dan sumpah serapah yang membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, lama-lama suara itu lenyap begitu saja.

Sekar mencoba berdiri. Aneh, kakinya tak kesemutan seperti biasanya. Ia memberanikan diri melangkah mendekati pintu kamar tempat dirinya bersembunyi. Keringat dingin membasahi punggung dan dahinya. Perlahan tangan kanannya meraih gagang pintu. Memutar dan menarik gagang pintu tersebut dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Saat sebagian kepalanya berhasil melongok ke luar, ia menemukan ruangan tersebut kosong. Ruangan yang ia yakini menjadi tempat keributan yang didengarnya barusan. Bahkan, tak ada tanda-tanda bahwa seorang atau lebih sempat menempati ruangan tersebut.

Mendadak Sekar dicekam ketakutan yang belum pernah ia rasakan. Ketakutan pada sebuah ruang keluarga yang kosong. Degup jantungnya terdengar jelas di ruangan yang melompong itu. Ia ingin berlari sekuat tenaga. Menjauh dari tempat tersebut. Namun, tak bisa. Kakinya tiba-tiba kaku. Seperti ada yang mencengkeram dari bawah. Sekar berteriak sekuat tenaga. Harus ada yang mengeluarkannya dari tempatnya kini. Harus.

Sekar terbangun tiba-tiba. Ia mendapati bantal yang menopang kepalanya basah oleh keringat. Lehernya kaku. Seolah sebongkah kayu dipasang membujur dari punggung hingga kepalanya agar lehernya tak bisa bergerak. Ia berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Menghirup udara perlahan dalam tiga hitungan dan melepaskannya dalam hitungan yang sama. Ia melakukannya lima kali hingga degup jantungnya dirasakan kembali normal. Kedua tangannya meremas selimut berbahan flanel yang menutupi tubuhnya. Sekar berharap waktu segera berlalu dan mengembalikan seluruh fungsi organ tubuhnya ke alam nyata.

Setelah balok kayu tak lagi dirasakan menyangga leher dan kepalanya, Sekar menoleh ke kiri. Prabu, suaminya, masih terlelap. Wajahnya begitu damai. Sekar mengusap kepala suaminya perlahan. Prabu pasti pulang larut malam, sebab ia tak mendengar suara mobil suaminya memasuki halaman.

Setelah mengatur napasnya, Sekar duduk di tempat semula berbaring. Dengan bantuan cahaya dari lampu tidur yang terpasang di dinding di samping kanan tempat tidur, ia menyapukan pandangannya ke seluruh isi kamar. Sebuah meja rias dengan berbagai perlengkapan rias wajah berada tepat di sebelah kanan tempat tidur. Kemudian, lemari pakaian yang menempel di dinding yang terkesan terlampau lebar. Namun, Sekar menyukainya.

Sekar memandang jam dinding di kamarnya. Pukul 1.00 dini hari. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Meletakkan kepalanya perlahan seolah meletakkan benda yang mudah pecah. Mungkin mimpi tadi akibat dirinya masih kelelahan setelah didera setumpuk pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sebelum ia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja, meski kemudian ia sedikit sangsi akan keputusannya itu. Sekar mengingat-ingat apakah dirinya pernah memimpikan hal yang sama. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. Bulu kuduknya kembali meremang.

Ia bangkit dan menghampiri tombol lampu utama kamar yang bersebelahan dengan tombol lampu kamar mandi. Keduanya terletak persis di sebelah nakas tempat suaminya biasa meletakkan tas kerja. Sekar menekan tombol tersebut. Cahaya remang-remang segera berganti menyilaukan. Sekar berharap cahaya kali ini mampu menghapus kegelisahan atas mimpinya barusan. Ia menatap suaminya lekat-lekat.

Tanpa mematikan lampu utama, Sekar berbaring di tempatnya semula. Kini kepalanya disandarkan pada lengan Prabu. Mengharapkan kehangatan tubuh suaminya mengalir ke tubuhnya yang dingin. Ia yakin, dengan cara seperti ini, tidurnya tak akan dihantui mimpi buruk lagi. Meski selama ini dirinya dan Prabu disibukkan oleh urusan masing-masing, setidaknya mulai hari ini dan seterusnya ia akan lebih sering menemani Prabu. Berbagi suka dan duka. Menghalau mimpi seburuk apa pun yang mungkin hadir di antara mereka. Tak lama kemudian, Sekar merasa pelupuk matanya memberat. Bibirnya sempat mengulas senyum sebelum dirinya benar-benar terlelap. Besok pagi lembar baru dalam hidupnya akan dimulai. Harapan yang dipupuknya selama ini akan bersemi mulai dari besok pagi. Perlahan tetapi pasti, ia berhasil mewujudkan keinginannya. Berhenti bekerja, menjadi ibu rumah tangga, dan fokus pada kebahagiaan keluarganya, demi mengubur masa lalunya yang kelam.

Sekar mengerjapkan mata berkali-kali saat dilihat jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 8.00 pagi. Dengan tergesa ia bangkit. Aliran darah yang dipaksa mengisi rongga kepalanya dengan cepat membuatnya merasa sedikit pening. Prabu tentu sudah berangkat kerja. Kemarin ia berjanji kepada suaminya untuk membuatkan sandwich tuna pada pagi hari sebagai bekal sarapan. Sebenarnya, Sekar ingin membawakan juga bekal makan siang, tetapi Prabu menolak. Ada undangan meeting di sebuah rumah makan di daerah Sudirman, katanya. Dan, kini tak satu pun bekal berhasil dibawakan untuk suaminya.

Setengah berlari, Sekar menuruni tangga menuju ruang makan yang terhubung langsung dengan ruang keluarga tempat ia dan suaminya biasa menonton TV. Ia melongok ke dapur dari dinding yang membatasinya dengan ruang makan. Mencoba mencari sosok Marni, pembantunya yang telah bekerja kepadanya setahun belakangan. Seharusnya, Marni sedang menyapu atau mengepel lantai. Sekar mencoba mencari ke tempat mencuci baju, ke ruang depan, tetapi Marni tak kunjung tampak.

Rumah, yang dihuni bersama Prabu sejak dua tahun yang lalu, dibangun di atas tanah seluas 150 meter persegi. Terletak di kawasan Bintaro, Tangerang. Mereka memilih rumah tersebut karena akses ke pusat kota yang mudah, fasilitas yang memadai, dan harga yang sesuai dengan kantong mereka. Setahun pertama, Sekar masih membagi sebagian penghasilannya untuk membayar cicilan rumah. Tahun berikutnya, tinggal Prabu yang menyisihkan penghasilannya untuk membayar cicilan tersebut. Prabu mengerti rencana istrinya untuk menjadi ibu rumah tangga setelah hampir delapan tahun bekerja. Istrinya beberapa kali menyampaikan niat tersebut kepadanya. Bila kemudian Prabu dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, hal itu dianggap Prabu dan Sekar sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk hidupnya.

Sebelumnya, Prabu dan Sekar mengontrak rumah dengan satu kamar di daerah Sunter, tak jauh dari tempat Sekar bekerja. Hanya dalam waktu enam bulan, Prabu mendapat kabar ada sebuah rumah mungil nan asri di daerah Bintaro dijual dan ditawarkan kepadanya. Melihat kondisinya yang masih baru, Prabu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membelinya. Uang muka dibayarnya dengan pinjaman lunak dari tempatnya bekerja. Sesungguhnya, orangtua Prabu menawarkan untuk membayar uang muka rumah tersebut. Namun, Prabu menolak. Ia mengerti orangtuanya tak akan mau bila suatu saat ia ingin mengembalikan uang tersebut. Prabu telah berjanji kepada Sekar untuk membeli rumah hasil jerih payahnya sendiri dan tidak bergantung kepada orangtuanya.

Lihat selengkapnya