Hari-hari berlalu, dan meskipun keheningan yang dulu menguasai rumah ini perlahan mulai terkikis, Evelyn tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Tidak ada solusi instan untuk perasaan yang sudah lama terpendam. Namun, ada sebuah kenyataan yang semakin jelas: keluarga mereka, meskipun terpecah, masih berusaha untuk memperbaiki diri. Setiap percakapan, sekecil apapun, membawa mereka lebih dekat kepada pemahaman.
Pagi itu, setelah sarapan, Evelyn memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. Langit tampak cerah, dengan sinar matahari yang lembut menyinari dedaunan hijau. Ia butuh waktu untuk merenung, untuk menenangkan pikirannya. Terkadang, hanya dengan berjalan kaki di alam bebas, ia merasa bisa melepaskan sedikit beban yang selama ini menekan.
Saat melangkah pelan di antara pepohonan, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Evelyn berbalik, dan mendapati ibunya, Leony, yang sedang berjalan mendekat dengan ekspresi yang lebih tenang dari biasanya.
"Ma," Evelyn menyapa dengan senyum tipis. "Ada apa, Ma?"
Leony tersenyum kecil, lalu berjalan menyamping Evelyn. "Aku cuma ingin jalan-jalan sebentar. Menghirup udara segar, mencoba untuk berpikir dengan lebih jernih. Bagaimana denganmu, sayang? Kamu tampaknya sedikit lebih tenang akhir-akhir ini."
Evelyn mengangguk. "Aku merasa sedikit lebih baik, Ma. Tapi tetap... masih banyak yang harus kita bicarakan. Aku tahu kita semua punya beban masing-masing, dan aku ingin menyelesaikannya. Tidak hanya untuk diriku, tapi juga untuk kita semua."
Leony menatap anaknya dengan mata lembut. "Kami selalu tahu bahwa ada sesuatu yang tidak kamu ungkapkan, Evelyn. Tapi tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata-kata. Kadang, kita perlu memberi waktu untuk semuanya. Mungkin itu yang kita semua butuhkan—waktu untuk menerima dan belajar saling memaafkan."
Evelyn mendengus pelan, merasa ada benarnya dalam perkataan ibunya. "Aku ingin kita bisa berbicara lebih banyak, Ma. Tapi kadang-kadang, rasanya seperti ada jarak yang besar di antara kita. Aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Leony menghela napas, berhenti sejenak di tengah jalan setapak. "Kamu tidak sendirian dalam perasaan itu. Ayahmu dan aku, kami juga merasa seperti terjebak dalam kesunyian yang sama. Terkadang, kita tidak tahu bagaimana harus memulai. Tapi aku percaya kita bisa mulai dengan sedikit keberanian. Kita tidak akan tahu apakah semuanya bisa diperbaiki jika kita tidak mencoba."
Evelyn mengangguk, merenung dengan segala kata yang baru saja ibunya ucapkan. "Kita bisa mulai dengan memaafkan, kan, Ma?"
Leony tersenyum penuh kasih. "Ya, itu langkah pertama yang paling penting. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi lebih kepada memberi ruang untuk perasaan yang lebih baik, untuk menerima kenyataan yang ada."
Perbincangan itu membuat Evelyn merasa lebih ringan. Meskipun masih banyak yang harus dibicarakan, ia merasa ada sedikit harapan untuk masa depan. Memaafkan memang bukan hal yang mudah, apalagi ketika luka itu begitu dalam. Namun, tanpa memaafkan, tidak ada ruang untuk pertumbuhan.
Setelah beberapa saat berjalan bersama ibunya, mereka berdua kembali ke rumah. Evelyn merasa hatinya sedikit lebih tenang. Ketika ia memasuki rumah, ia melihat ayahnya sedang duduk di ruang keluarga, membaca koran seperti biasa. Biasanya, ia akan menghindari percakapan dengan ayahnya, tetapi hari itu berbeda. Ada sedikit keberanian dalam dirinya untuk mencoba mendekat.
"Pa," Evelyn memulai, suaranya agak ragu. "Aku ingin bicara."
Ayahnya mengangkat wajahnya dari koran, matanya menatap Evelyn dengan penuh perhatian. "Tentu, Evelyn. Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Evelyn menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku ingin meminta maaf. Untuk semuanya. Aku tahu aku tidak mudah dihadapi, dan aku tahu aku banyak mengecewakan. Tapi aku ingin kita bisa mulai berbicara, Pa. Aku ingin kita bisa menyelesaikan semua yang belum selesai."
Ayahnya memandangi Evelyn dengan mata yang sulit dibaca, tapi ada keheningan di antara mereka yang terasa lebih hangat daripada biasanya. "Kami juga banyak berbuat salah, Evelyn. Aku tahu itu. Tapi kamu harus tahu, meskipun aku tidak selalu bisa mengungkapkannya, aku selalu ingin yang terbaik untuk kamu dan Eli."
Mata Evelyn berkaca-kaca. "Aku tahu, Pa. Aku tahu. Aku hanya... ingin kita semua bisa menemukan cara untuk memperbaiki semuanya."
Ayahnya akhirnya menurunkan korannya, berdiri, dan mendekat. "Kita mulai dari sini, Evelyn. Langkah pertama sudah kamu ambil. Kita akan coba, pelan-pelan."
Evelyn merasa air matanya hampir tumpah. Untuk pertama kalinya, dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ada sedikit ruang untuk harapan di keluarganya. Mungkin tidak semuanya bisa diperbaiki dalam semalam, tetapi langkah-langkah kecil itu akan membawa mereka lebih dekat kepada pemulihan.
Di luar jendela, matahari mulai terbenam, menggantikan langit yang cerah dengan cahaya lembutnya. Evelyn menatapnya sejenak, merasakan kedamaian yang perlahan mengisi hatinya. Mungkin perjalanan ini memang akan panjang, dan penuh dengan rintangan. Namun, ia sudah siap. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ada keluarganya yang siap berjuang bersama.
Dan mungkin, itu adalah awal dari segala perubahan yang mereka semua butuhkan.
Pagi itu, rumah terasa berbeda. Meskipun masih ada sisa ketegangan yang melayang di udara, suasana di sekitar Evelyn dan keluarganya mulai berubah. Setelah beberapa percakapan yang panjang dan penuh emosi, mereka kini menghadapi kenyataan bahwa mereka berada di titik awal sebuah perjalanan panjang untuk saling memahami.
Evelyn merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan tentang masa depan. Tidak semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan beberapa percakapan, dan ia tahu bahwa tidak akan mudah untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah lama terpendam. Namun, setidaknya ia merasa ada upaya dari masing-masing anggota keluarga untuk memperbaiki keadaan. Itu sudah cukup untuk membuatnya merasa optimis.
Hari itu, setelah sarapan, Evelyn memutuskan untuk mengajak Elijah berbicara. Ia tahu bahwa adiknya masih merasa terluka, meskipun mereka berdua sudah saling berbicara dengan lebih terbuka. Ada banyak hal yang belum terselesaikan, dan ia ingin memastikan bahwa mereka benar-benar bisa mulai memperbaiki hubungan mereka.
Elijah sedang duduk di ruang tamu, memandang layar ponselnya dengan wajah serius. Begitu melihat Evelyn mendekat, ia tersenyum kecil dan meletakkan ponselnya di meja.
"Hei," kata Evelyn lembut, duduk di sebelah adiknya. "Bisa kita bicara sebentar?"
Elijah mengangguk, meskipun ekspresinya masih cenderung kaku. "Tentu, apa yang ingin kamu bicarakan?"
Evelyn menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu banyak hal yang kita lewati, dan aku tahu kita belum sepenuhnya selesai dengan apa yang terjadi. Tapi aku ingin kita benar-benar mencoba, Eli. Aku ingin kita bisa saling mengerti dan tidak hanya berdiam diri dalam kesunyian. Aku ingin kita bisa jadi lebih dari sekadar saudara yang tinggal bersama, aku ingin kita jadi teman."
Elijah terdiam sejenak, memikirkan kata-kata kakaknya. "Aku juga ingin begitu, Evelyn. Tapi kadang aku merasa kamu terlalu jauh. Seperti ada sesuatu yang menghalangi kita untuk saling dekat. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi."