Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #6

6

Hari itu, langit mendung, dan angin yang berhembus pelan seolah menyampaikan rasa cemas yang menggantung di antara mereka. Evelyn dan Rafael berjalan berdampingan, namun ada jarak yang tak terlihat di antara keduanya, sebuah jarak yang terbangun dari perasaan campur aduk yang tak terucapkan.

Setelah keluar dari gua, mereka bertemu dengan Leony dan Theodore, yang sejak tadi menunggu dengan cemas. Keduanya tampak lelah, tetapi mata mereka tetap penuh tekad. "Kamu baik-baik saja?" tanya Leony dengan suara khawatir kepada Rafael.

Rafael mengangguk pelan, meskipun ekspresinya menunjukkan kebingungan yang mendalam. Evelyn bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri Rafael—sesuatu yang lebih besar dari sekadar perbedaan pendapat. Ada rasa bersalah, ada juga kebingungannya tentang siapa dirinya dan apa yang seharusnya dia percayai.

"Rafael, kamu tidak sendirian," kata Theodore dengan nada lembut. "Kita semua ada di sini, dan kita akan menghadapi semuanya bersama-sama. Tapi, kita harus bicara, kita harus jujur tentang apa yang telah terjadi."

Rafael menatap Theodore sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke tanah. "Aku... aku tidak tahu lagi siapa yang bisa aku percayai," ujarnya, suaranya serak. "Aku sudah terlalu terjebak dalam permainan mereka. Sekarang, semua yang aku lakukan terasa seperti sebuah kebohongan."

Evelyn merasakan sakit hati yang mendalam mendengar kata-kata Rafael. Dia tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam pilihan yang salah, dan kadang-kadang sulit untuk menarik diri dari situasi yang telah membelenggu. Namun, mereka semua harus menemukan cara untuk saling mendukung, terutama sekarang.

"Aku tahu rasanya," Evelyn berkata, menatap Rafael dengan penuh empati. "Tapi kita bisa membangun hidup kita sendiri. Kita bisa memperbaiki semuanya. Semua yang kita butuhkan adalah satu sama lain."

Rafael menoleh ke arah Evelyn, matanya mulai tampak lebih cerah meskipun ada kepedihan yang masih menyelubungi. "Aku takut kalau aku sudah terlambat, Evelyn."

Leony melangkah mendekat, mencoba menenangkan suasana. "Tidak ada kata terlambat, Rafael. Kita punya waktu, asalkan kita mau berubah."

Namun, suasana semakin terasa berat ketika tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras dari arah rumah yang tak jauh dari mereka. Maya muncul, wajahnya terlihat pucat dan lelah. Dia berjalan mendekat dengan langkah terburu-buru.

"Maya?" Rafael bertanya, kaget melihatnya.

Maya mengangguk pelan. "Ada sesuatu yang harus kalian tahu," katanya, suara gemetar. "Aku baru saja mendapat kabar buruk. Keluarga kita—terutama orang tua kalian—mereka sedang dalam bahaya. The Elders—mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka juga terlibat dalam urusan yang lebih besar. Kalian harus segera kembali dan menghadapinya."

Evelyn menatap Maya dengan cemas. "Apa yang kamu maksud? Apa yang sedang terjadi?"

Maya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum berbicara lebih lanjut. "Aku baru saja berbicara dengan beberapa orang dalam kelompokku. Mereka memberitahuku bahwa orang tua kalian—terutama ayah kalian, Rafael—terlibat dalam skema besar yang melibatkan lebih banyak orang dari yang kita kira. The Elders tidak hanya mencari kita. Mereka juga sedang mengendalikan banyak keputusan besar yang melibatkan keluarga kita."

Rafael terdiam. Kalimat Maya seperti sabetan pedang yang menembus hatinya. Ayahnya? Selama ini, dia percaya bahwa keluarganya adalah tempat yang aman, tempat untuk kembali. Tapi jika apa yang Maya katakan benar, semuanya akan berubah. Bagaimana bisa ayahnya terlibat dalam sesuatu yang begitu gelap? Dan apa artinya ini untuk masa depan mereka semua?

"Kita harus kembali ke rumah," kata Evelyn, suaranya penuh ketegasan. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mengendalikan apa pun lagi. Keluarga kita, semua yang kita cintai, berada dalam bahaya."

Tetapi Maya menambahkan, "Tidak mudah untuk kembali. Ada pengkhianatan di antara kita yang lebih dalam dari yang kalian bayangkan. Kita semua terperangkap dalam situasi yang jauh lebih rumit daripada yang terlihat."

Leony, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara, "Tapi keluarga kita? Apa yang kita lakukan terhadap mereka? Kita tidak bisa membiarkan The Elders merusak segalanya. Kita harus memikirkan jalan keluar bersama."

Perasaan cemas membungkus hati mereka semua. Keluarga—suatu kata yang seharusnya memberi rasa aman, kini justru menjadi sumber ketakutan. Setiap dari mereka mulai merasakan beratnya tanggung jawab, bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tetapi juga terhadap orang-orang yang mereka sayangi. Dan semakin dekat mereka dengan kebenaran, semakin dalam mereka terperangkap dalam konflik yang memecah belah hubungan keluarga.

Di sinilah titik terpenting dari perjalanan ini: bukan hanya soal melawan musuh eksternal, tetapi juga menghadapi kenyataan pahit dalam hubungan keluarga yang terpecah. Evelyn tahu bahwa keluarganya—seperti keluarga lainnya—memiliki sisi gelap yang selama ini terpendam. Dan mereka harus siap untuk menghadapi kebenaran yang akan mengubah segalanya.

Sebelum mereka bisa membuat keputusan, suara ponsel Evelyn berbunyi, memecah keheningan. Dia memandang layar ponselnya, dan saat melihat siapa yang menghubunginya, hatinya terhenti sejenak.

Itu adalah pesan dari ibunya.

"Evelyn, mereka sudah datang. Cepat, pulang sekarang."

Evelyn menatap pesan dari ibunya, jantungnya berdebar kencang. Tubuhnya terasa kaku, seolah beban yang sangat berat menimpa pundaknya. Keputusan yang harus mereka buat terasa semakin mendesak, namun dia tahu bahwa kembali ke rumah berarti mereka akan menghadapi kenyataan yang lebih pahit lagi. Keluarga mereka, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, kini menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan dan rahasia gelap yang belum sepenuhnya terungkap.

"Bagaimana? Apa yang kamu rencanakan?" tanya Leony dengan cemas, menyadari ekspresi gelisah di wajah Evelyn.

"Aku tidak tahu," jawab Evelyn dengan suara serak. "Pesan dari ibuku... mereka sudah datang. Sepertinya mereka sudah mengetahui semua ini." Tatapannya berkisar pada Theodore dan Rafael, yang juga terdiam dengan wajah yang penuh ketegangan. "Kita harus kembali. Tapi aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi begitu kita kembali ke rumah."

Theodore menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana. "Kita harus siap dengan segala kemungkinan. Ini lebih besar dari yang kita bayangkan."

Rafael, yang sejak tadi menatap kosong ke depan, akhirnya berkata dengan suara pelan, "Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Ayahku... dia selalu tampak seperti sosok yang tak tergoyahkan. Tapi sekarang, aku tidak tahu lagi. Bagaimana aku bisa percaya padanya setelah semua yang sudah terjadi?"

Evelyn tahu bahwa Rafael sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Dia juga merasakannya—betapa sulitnya untuk menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai bisa terlibat dalam hal-hal yang sangat gelap. Tetapi mereka harus tetap tegar, karena apa pun yang mereka temui di rumah, mereka harus bisa menghadapinya bersama.

"Rafael," kata Evelyn lembut, mencoba memberi dukungan, "kita akan bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi ini bersama. Kita adalah keluarga."

Namun, meskipun kata-kata itu mengandung harapan, kedalaman kecemasan di hati mereka tidak bisa diabaikan. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya sekadar soal melawan musuh dari luar. Ini tentang membuka hati dan pikiran mereka terhadap kebenaran yang sudah lama tertutup. Ini juga tentang menghadapi kekacauan yang mereka temui dalam diri keluarga mereka sendiri.

Pulang ke rumah terasa seperti kembali ke tempat yang penuh dengan kenangan dan ketidakpastian. Evelyn dan yang lainnya tiba di rumah yang dulu mereka kenal dengan hangat, namun kini tampak berbeda. Rumah itu terasa lebih sepi, lebih gelap, dan lebih penuh dengan ketegangan yang membekap udara di sekitarnya.

Lihat selengkapnya