Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #11

11

Beberapa minggu telah berlalu sejak percakapan hangat di ruang makan itu. Kehidupan Evelyn dan keluarganya mulai menemukan ritme yang lebih baik. Meskipun perasaan cemas yang dulu menghantui setiap langkah mereka mulai mereda, masalah keluarga yang lebih dalam tetap ada. Kadang-kadang, mereka berusaha mengabaikan kenyataan, berharap bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, tetapi Evelyn tahu bahwa itu tidak akan terjadi tanpa usaha.

Di suatu sore yang tenang, Evelyn duduk di ruang tamu sambil memandangi ayahnya yang sedang menonton berita di televisi. Sesekali, matanya melirik Leony yang sibuk dengan ponselnya di meja makan, dan Theodore yang duduk di sudut ruangan dengan buku di tangan.

Ayah Evelyn, yang kini semakin sering meluangkan waktu bersama keluarga, masih tampak sibuk dengan pekerjaan. Dia tidak lagi bekerja sekeras dulu, tetapi rutinitasnya tetap membawa beban mental yang besar. Evelyn tahu itu. Sejak percakapan mereka yang lebih terbuka, hubungan mereka mulai membaik, meskipun mereka tetap tidak bisa sepenuhnya melepaskan kebiasaan lama.

Evelyn mendekatkan dirinya ke ayahnya, mencoba memulai percakapan seperti yang dia lakukan beberapa waktu lalu. "Ayah, bagaimana kabar pekerjaanmu? Masih berat seperti dulu?"

Ayahnya menatapnya sejenak, sebelum menghela napas pelan. "Ada beberapa hal yang perlu diatur, Evelyn. Tapi aku mencoba untuk tidak terlalu membiarkannya mengganggu waktu di rumah."

Evelyn menatapnya dengan prihatin. "Aku tahu ini tidak mudah. Kalau ada yang bisa aku bantu, beri tahu aku ya."

Ayahnya tersenyum tipis, seolah menghargai perhatian anaknya, meskipun dia tidak banyak bicara tentang perasaannya. "Terima kasih, Evelyn. Aku tahu kamu peduli."

Di meja makan, Leony menatap mereka berdua. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Masalah pekerjaan Ayah," jawab Evelyn. "Aku mencoba untuk mengerti kalau ini bukan hal yang mudah."

Leony mengangguk. "Aku bisa bantu kalau perlu, kok. Mungkin ada beberapa hal yang bisa aku kerjakan untuk meringankan beban Ayah."

Evelyn tersenyum, bangga melihat adiknya yang mulai lebih bertanggung jawab. "Itu ide yang bagus, Leony."

Namun, di balik percakapan ringan itu, ada sesuatu yang belum diungkapkan. Evelyn bisa merasakan ketegangan di udara, terutama saat Theodore tidak ikut bergabung dalam obrolan. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan yang lebih besar: ketiga anaknya masih berjuang dengan cara mereka sendiri untuk menemukan jalan mereka di dunia ini, dan meskipun mereka semakin dewasa, mereka masih sangat terikat oleh ikatan keluarga yang rumit.

Setelah beberapa saat, Theodore akhirnya menutup bukunya dan bergabung di meja makan. "Kak Evelyn, aku ingin bicara denganmu," katanya dengan suara lembut.

Evelyn menatapnya, sedikit terkejut. "Tentang apa, Theo?"

Theodore tampak berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Aku ingin mengambil langkah besar dalam hidupku. Aku sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku merasa ini adalah waktu yang tepat."

Evelyn terkejut mendengar pengakuan itu. Theodore yang selalu tenang dan penuh pertimbangan, kini tampak ragu dan cemas. "Kamu serius, Theo? Itu keputusan besar."

"Ya, aku pikir ini akan memberiku kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru, di luar zona nyaman kita," jawab Theodore.

Evelyn terdiam sejenak, memikirkan kata-kata adiknya. "Aku tahu kamu dewasa dan tahu apa yang terbaik untuk dirimu, tapi aku khawatir. Kehidupan di luar negeri, jauh dari keluarga... itu bukan hal yang mudah."

Leony, yang mendengar percakapan itu, ikut berbicara. "Aku pikir itu ide yang bagus, Kak. Theodore selalu ingin mencoba hal baru. Kalau dia merasa ini adalah saat yang tepat, kenapa tidak?"

Evelyn menatap keduanya, merasa sedikit bingung. Tentu dia ingin mendukung adiknya, tetapi perasaan khawatir selalu menghantui setiap keputusan besar dalam hidup. "Aku hanya ingin kamu tahu, Theo, bahwa apapun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi ini adalah keputusan besar, dan aku harap kamu mempertimbangkannya dengan matang."

Theodore mengangguk. "Terima kasih, Kak Evelyn. Aku sudah memikirkannya dengan matang."

Hari itu berakhir dengan ketegangan yang tidak bisa dipungkiri. Evelyn merasa cemas tentang masa depan keluarganya, dan meskipun mereka semua tampak lebih tenang dari sebelumnya, dia tahu bahwa perubahan besar sedang terjadi. Kehidupan mereka mungkin sudah mulai menemukan keseimbangan, tapi kadang-kadang, keluarga tidak selalu tahu apa yang akan datang berikutnya.

Hari berikutnya, suasana di rumah terasa lebih hening dari biasanya. Setiap anggota keluarga tampaknya terjebak dalam pikiran mereka masing-masing. Theodore, yang semalam berbicara tentang rencananya untuk melanjutkan studi ke luar negeri, kini tampak lebih serius dan tenang. Evelyn yang masih memikirkan kata-kata adiknya, merasa sedikit cemas, meskipun dia berusaha memberi dukungan. Leony, yang biasanya ceria, juga terlihat lebih pendiam, mungkin karena dia merasa kekhawatiran yang sama seperti yang dirasakan Evelyn.

Pagi itu, setelah sarapan, Evelyn memutuskan untuk berbicara dengan Ayah mereka. Dia tahu bahwa Ayahnya belum sepenuhnya menerima kenyataan tentang keinginan Theodore, meskipun dia tidak mengungkapkan banyak hal. Evelyn berharap bisa memberi sedikit kejelasan atau setidaknya memahami lebih baik perasaan Ayahnya.

"Pa, boleh kita bicara sebentar?" Evelyn membuka percakapan saat Ayahnya sedang duduk di sofa, meminum kopi pagi.

Lihat selengkapnya