Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #12

12

Hari itu, Evelyn merasa ada sesuatu yang berbeda. Setelah percakapan yang berat dengan Ayah, dirinya merasa lebih tenang, namun ada sedikit ketegangan yang masih menyelubungi dirinya. Dia tahu, meskipun percakapan mereka memberi sedikit harapan, masalah belum selesai begitu saja. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam keluarganya, dan dia harus siap untuk melakukan bagian yang bisa dia lakukan.

Sore itu, Evelyn memutuskan untuk menemui Leony. Sang adik, yang sejak beberapa waktu lalu semakin tertutup dan memilih untuk tidak terlalu banyak berbicara, membuat Evelyn merasa sedikit khawatir. Mungkin Leony belum siap membuka dirinya, tetapi Evelyn merasa dia perlu tahu apa yang terjadi dalam hati Leony.

Leony sedang duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong saat Evelyn datang. Wajahnya tampak lelah, dan dari sikapnya, Evelyn bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu dalam pikirannya.

"Leony," panggil Evelyn lembut, menghampiri adiknya yang hanya mengangguk tanpa menoleh.

"Ada apa?" Leony akhirnya bersuara, meskipun suaranya tidak seteguh biasanya.

Evelyn duduk di sampingnya, mencoba memberikan ruang bagi Leony untuk berbicara. "Aku tahu akhir-akhir ini kamu banyak diam. Kamu nggak perlu memendam semuanya sendiri, kamu tahu kan?"

Leony menoleh, terlihat bingung. "Aku nggak tahu harus ngomong apa, Evelyn. Kadang-kadang aku merasa semuanya nggak ada yang benar. Keluarga kita... kayak nggak bisa seimbang lagi."

Evelyn merasakan hatinya tergetar. "Aku mengerti, Leony. Tapi kita bisa melaluinya. Semua orang punya rasa takut dan kebingungan yang sama, kok. Aku pun juga merasa gitu. Aku nggak ingin kamu merasa sendiri."

Leony diam sejenak. Kemudian, dengan perlahan, ia mulai membuka diri. "Aku tahu Ayah merasa tertekan. Tapi dia selalu terlalu sibuk untuk melihat kita, kan? Terlalu fokus pada pekerjaannya, sampai kadang aku merasa kita cuma ada di sampingnya sebagai latar belakang."

Evelyn menghela napas, merasa sakit hati mendengar itu. "Aku tahu. Terkadang kita merasa terlupakan. Tapi, Leony, aku yakin kalau Ayah tetap peduli. Hanya saja, dia nggak tahu cara menunjukkan perasaannya."

Leony menunduk, dan untuk pertama kalinya, air matanya jatuh. "Aku cuma... nggak tahu lagi harus gimana. Kadang-kadang, aku merasa nggak cukup baik. Aku nggak bisa jadi anak yang membuat Ayah bangga."

Evelyn meraih tangan Leony, menggenggamnya erat. "Kamu nggak perlu jadi yang sempurna. Kamu sudah lebih dari cukup. Ayah pasti bangga punya anak sepertimu."

Leony mengangguk, meskipun masih terlihat ragu. Namun, di mata Evelyn, ada secercah harapan yang mulai muncul. Mungkin, hanya dengan waktu dan komunikasi yang lebih terbuka, mereka bisa memperbaiki hubungan keluarga mereka, sedikit demi sedikit.

Setelah beberapa saat berbicara, Evelyn dan Leony memutuskan untuk keluar. Mereka berjalan di taman dekat rumah, menikmati sore yang tenang. Walau tak semua masalah terselesaikan, Evelyn merasa bahwa percakapan dengan Leony memberi mereka kedekatan yang lebih lagi. Ada kelegaan dalam hatinya. Mungkin masalah keluarga mereka tak akan mudah selesai, tetapi dengan saling memahami, mereka bisa menghadapi semuanya bersama.

Pagi itu, Evelyn terbangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun percakapan semalam dengan Leony memberi sedikit harapan, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Ada banyak lapisan emosi yang harus diselesaikan, dan dia masih merasa cemas tentang kondisi ayah mereka, Theodore, yang tampaknya semakin menjauh dari keluarganya.

Setelah sarapan, Evelyn memutuskan untuk berbicara dengan Theodore, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu. Dia merasa harus ada sesuatu yang dilakukan untuk memperbaiki hubungan mereka. Meskipun ayahnya bukan orang yang mudah diajak berbicara tentang perasaan, Evelyn percaya bahwa kalau tidak dimulai sekarang, mereka bisa semakin jauh.

Dia melangkah menuju ruang kerja Theodore, yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumen di meja. Saat Evelyn masuk, Theodore menoleh, kaget melihat anaknya berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Evelyn?" tanyanya, suara serius dengan tatapan yang tidak bisa dibaca.

Evelyn menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku ingin bicara, Ayah."

Theodore menatapnya sejenak, kemudian meletakkan pensil di tangannya dan menyandarkan punggung di kursi. "Bicara tentang apa?"

Evelyn duduk di kursi di depan meja kerja Theodore. "Tentang keluarga. Tentang kita. Tentang bagaimana kita bisa lebih saling memahami satu sama lain. Aku merasa kita semua semakin jauh, Ayah. Seperti ada dinding yang terbentuk antara kita."

Theodore terdiam, seolah berpikir sejenak. "Keluarga kita baik-baik saja, Evelyn. Kamu dan Leony sudah cukup dewasa untuk mengurus diri sendiri. Aku hanya fokus pada pekerjaan supaya semuanya lancar."

Lihat selengkapnya